11

4K 450 51
                                    

"Cepat makan itu, jangan sampai sakit atau mati, Kana."

Arkhana memandang sendu pada makanan ala western di depannya, sama sekali tidak menarik malah membuat asam lambungnya ingin naik. Rasanya ini terlalu cepat sekali, Arkhana belum siap pulang dengan keadaan yang tiba-tiba seperti ini.

"Ada apa, mi? Kenapa mami tiba-tiba jemput... Kan Kana udah majuin jadwal pulang juga, pengumumannya tiga hari lagi, kan?"

Entah mendapat kekuatan dari mana, Arkhana berani bersuara seperti itu. Karena biasanya ia akan diam saja, membiarkan Aluna menyetir dan mengendalikannya layaknya robot.

Aluna menangkup pipi anaknya dengan satu tangan. "Sebenarnya mami ingin membahasnya nanti di rumah, tapi kamu tanya sekarang jadi gapapa mami cicil aja."

Arkhana mulai mendengarkan.

"Mami sudah memberitahumu semalam tapi gak juga kamu balas, Kana. Mami bilang untuk packing karena mami akan menjemput mu, mami sudah beli tiket kemarin karena ada yang mau mami bicarakan. Tapi pesan mami gak kamu balas-balas, se-seru itukah tinggal disana??"

Perlahan Arkhana menggeleng meski dalam hati mengiyakan. Ia langsung merogoh saku celananya, ingin mengecek pesan maminya namun ia lupa kalau jelas ia tidak membawanya karena sedang di cas di kamar subuh tadi. Bahkan dompetnya, ada hal yang berharga di dalamnya.

Melihat gelagat anaknya, Aluna paham. Salahnya juga tidak memberikan kesempatan berkemas.

"Gak sok nyari begitu, Kana. Mami tau hp mu ketinggalan di rumah kecil itu. Mami belikan lagi nanti."

"Maaf, mi..." ucap Arkhana lirih.

Aluna memijat pelipis, pusing dengan kerjaan dan sayangnya ia punya anak yang merepotkan begini. Ia memejamkan mata, menikmati tujuh jam yang tersisa di dalam pesawat.

"Jangan bersuara dan makan saja, Arkhana. Mami beneran gak mau kamu mati."

Tidak mau dirinya mati? Arkhana tersenyum tipis, ia mulai melahap makanannya dengan menahan mual. Aluna diam-diam memerhatikan anaknya, terbesit rasa kasihan melihat Arkhana tampak enggan memakan makanannya hingga kemudian menelan beberapa butir obat yang ada di dalam kresek pemberian Kairo tadi.

Berbicara tentang anak-anaknya yang lain yakni Erlang, Ranu, dan Kairo. Ada rasa bangga melihat wajah tampan ketiga putranya tadi, mereka terlihat sehat dan bahagia, Bachtiar berhasil membesarkan mereka dengan baik ternyata. Lalu dirinya? Ia melirik Arkhana yang sekarang sudah memejamkan mata sambil memijat dahi, masa ia membesarkan satu saja tidak bisa.

Kalau boleh jujur, Aluna rindu anak-anaknya. Namun perasaan benci yang teramat sangat pada Bachtiar dan juga keadaan pada saat itu membuat Aluna menampik perasaan mellow yang ada di hatinya.

Tangan kanan Akrhana yang tadi memijat dahi terkulai jatuh. Aluna melirik sekilas, anak itu benar-benar sudah tertidur. Padahal ia menyuruhnya makan agar anaknya itu cepat sembuh, enak sekali Bachtiar mengatainya tidak becus menjaga anak. Bukan salahnya ia tidak tau penyakit Arkhana, ia memang sibuk.

"Abang..."

Aluna tersenyum miring mendengar igauan Arkhana. Mau dengan cara bagaimanapun dipisahkan, hubungan darah tidak bisa dibohongi.

•••

Kairo bosan.

Ranu dan Erlang sudah berangkat kerja dari tadi bahkan sampai melewatkan sarapan. Mungkin karena kedatangan maminya yang tiba-tiba membuat suasana jadi gak enak, Kairo juga merasakan itu. Ia sebenarnya rindu dengan wanita yang melahirkannya itu, sampai merasa iri pada Arkhana yang bisa tinggal dengan Aluna. Namun ia benci jika teringat bagaimana ibunya mengkhianati cinta Bachtiar, ia benci jika ingat sikap cuek Aluna.

BUNGA TIDUR✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang