27

3.4K 384 50
                                    

Harusnya Arkhana tidak kaget ketika ia mendapatkan tamparan di pipinya, ia pantas mendapatkan itu dan kebencian dari neneknya atas apa sudah dilakukan oleh ibunya terhadap Bachtiar.

"Oma ini kenapa sih?!" Sentak Kairo dengan tatapan nyalang kepada neneknya.

Wanita tua itu berdecak, kaget sekali melihat keberadaan anak Aluna itu dan rasa marah langsung menguap begitu saja. Melihat anak itu masih bersimpuh di lantai akibat tamparan kerasnya, Oma berjongkok dan menepis tangan Kairo yang ingin membantu anak itu berdiri.

"Maafin, Oma." Ucapnya lirih lantas membantu Arkhana berdiri.

Tentu saja Arkhana dibuat bingung, begitupun Bachtiar, Erlang, Ranu, dan Kairo. Tadi ditampar sekarang dibantu berdiri sambil meminta maaf, kemudian tanpa diduga lagi Oma menarik lembut tubuh Arkhana dan memeluknya erat.

"O-oma..."

"Oma sayang banget sama kamu tapi juga benci banget, Ar!" Tekan Oma lalu melepaskan pelukannya dan menangkup kedua pipi Arkhana sambil terus memindai anak itu dari atas sampai bawah lagi. "Kamu ini kenapa pucet banget kayak baso aci, disana gak dirawat, kah?"

Bachtiar sontak tertawa, napasnya berhembus lega mendengar ucapan ibunya. Astaga, ia kira Arkhana akan mendapatkan kalimat sarkasme dan bentuk kekerasan lagi mengingat sebelum Arkhana kesini, sang Oma selalu mengungkit Aluna dan anaknya itu dengan emosi yang membara. Ternyata love hate relationship.

Memang sih, mau benci banget karena teringat kelakuan Aluna dan mereka masih terikat, tapi wajah Arkhana sangat tidak pantas untuk dibenci.

Oma mengelus pipi Akrhana yang langsung memerah akibat tamparannya. Arkhana tertawa. "Oma kalau mau melampiaskan emosi Oma sama aku gapapa banget, Oma. Aku udah biasa, kok."

Tanpa diduga Oma malah menangis.

Arkhana bingung, ia menatap saudara-saudaranya meminta bantuan. Namun mereka malah menahan senyum sambil mengendikkan bahu.

"Uhm... Aku minta maaf ya, Oma. Gara-gara aku keluarga ayah jadi berantakan. Kana udah bikin keributan. Terus-"

Bibir Arkhana dibekap oleh tangan keriput Omanya, lalu tubuhnya didorong ke samping yang beruntungnya Erlang punya refleks yang bagus untuk menangkap adiknya agar tidak jatuh lagi.

"Udah deh diem," Tukas Oma, ia melirik Erlang. "Kalian bawa tuh adek kalian ke kamar. Panas banget badannya kayak molen baru dari penggorengan."

Lah?

"Oma mau nenangin diri dulu," lanjut Oma, kemudian mendudukkan tubuhnya di kursi.

Bachtiar dengan kikuk mengambilkan air dari dispenser. Ranu ikut duduk di samping Omanya. Erlang menyerahkan Arkhana kepada Kairo, ia ikut duduk bersama di meja makan karena ia akan membantu Ranu dan Bachtiar berbicara kepada wanita tua itu nanti.

"Ayo ke kamar," ajak Kairo, merangkul adiknya yang menang suhu tubuhnya agak naik.

"Ini air panas, Atma! Kamu mau bikin Mama makin meledak apa gimana!"

"Hehe, sorry, ma. Gak liat."

Setelah suara-suara dari dapur lenyap karena Kairo membawanya ke kamar, Arkhana terdiam di ranjang lebarnya sembari menyentuh pipinya yang terasa bengkak.

Kairo juga terdiam tanpa kata, ia membuka laci pertama di samping kasur Arkhana dan mengambil salep di antara banyak obat yang tidak tertata rapi. Ranu membuat persediaan obat sendiri di kamar adiknya. Kemudian mengoleskan secara tipis di area pipi Arkhana yang terlihat merah.

Neneknya itu kurus, jari-jari tangannya ramping, pasti tulang-tulangnya yang menonjol itu memberikan nilai plus untuk tamparannya tadi. Pantas pipi Arkhana yang mulai berisi makin terlihat gembul. Tapi sebelah.

BUNGA TIDUR✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang