Epilog

4.7K 445 89
                                    

Bachtiar memicingkan matanya saat sinar matahari muncul setelah ditutup oleh awan kelabu sejak pukul setengah enam pagi. Senyumnya terukir lebar memandangi pohon tabebuya yang kini tingginya sudah melebihi kepalanya, bunga berwarna merah muda lembutnya juga tumbuh lebat. Padahal ingat sekali di benaknya, tepatnya satu setengah tahun yang lalu ia begitu frustasi saat bunga pada pohon ini gugur membuatnya langsung menyiram dengan satu ember penuh.

Tapi sekarang Bachtiar tidak akan menyiraminya lagi daripada tabebuya itu akan kembung setelah diguyur hujan deras semalaman.

Semalam itu buruk sekali, hujannya diiringi angin kencang dan petir sampai menumbangkan salah satu pohon trembesi di sekitaran jalan saat ia meninggalkan bandara. Sempat macet lama membuat Kairo dan Seno hampir tantrum karena ingin segera tidur setelah mengerjakan proposal tanpa tidur.

Namun setelah tiba di rumah, Kairo juga tidak bisa tidur karena guntur yang terdengar keras, katanya suara hujannya mengingatkan tentang suara ombak di pantai Lombok pada sekitaran jam setengah dua malam itu.

Bachtiar tersenyum tipis ketika mengingatnya, selain tadi malam, waktu itu juga malam paling buruk menurutnya.

Ia terbangun karena menyadari tangan yang digenggamnya seharian hilang, kasurnya kosong padahal sejak sore Arkhana masih mengeluh sakit. Tentu saja ia dan semua orang panik, bermodalkan melihat kamera pengintai akhirnya ia mencoba mencari dan akhirnya menemukan Arkhana adu mulut dengan ibunya di laut.

Saat itu Bachtiar tidak memikirkan resiko sama sekali tentang dirinya, melihat Arkhana tenggelam karena terhempas ombak ia segera berenang menyelamatkan ibu dan anak itu sebelum hanyut ke laut.

Rasanya Bachtiar sudah tidak bisa berkata-kata lagi, Arkhana yang sedang sakit sudah hampir tidak bernapas lagi saat ia temukan. Padahal siangnya anak itu masih bilang akan sembuh dan menemani ibunya lalu menemuinya juga jika sempat.

Memang benar menemani ibunya, tapi tidak sampai ke laut juga. Tapi tidak apa, Arkhana sudah sembuh sekarang.

Arkhana tidak akan merasakan kesakitan lagi.

"Ayo, Yah. Kita sarapan!"

Bachtiar menoleh, tersenyum lebar kepada Ranu yang muncul dari samping rumah dengan sekeranjang tomat. Panen lagi.

"Bun, sini biar aku yang ngiris tempenya."

"Ck. Aku juga mau bantu, Bun!"

"Ya udah, sini goreng telurnya, Sen."

"Eh, lo ketebelan ngiris tempenya."

"Enggak, udah pas ini!"

"Tempe kalau gak garing gak enakkk!"

"Ya enak-enak aja, kalau mau garing makan tuh keripik tempe buat lauk."

"Sen, telurnya balik cepet! Gosong itu!"

"Bunda aja yang goreng, deh. Sini! Tempenya biar gue aja."

"Dih? Enggak enggak!"

"Duhh, kalian berdua duduk aja di meja makan, ini biar bunda yang ngurusin!"

Ranu tertawa melihat pemandangan di dapur pagi ini, ia meletakkan tomat di depan ibunya dan duduk di depan Kairo yang sedang memakan sisa soto yang ia beli semalam dengan nyawa yang belum terkumpul. Mungkin jika bisa tidur sambil makan, Kairo akan melakukan itu.

"Itu kan bunda pegang pisau, tusuk aja mulut mereka berdua," Ucap Ranu santai. "Berisik banget."

Erlang yang muncul dari pintu belakang tergelak, ia kalau jadi Raina juga sudah ia ikat dua orang itu di tiang. Toodler kalah riweuh sama mereka.

BUNGA TIDUR✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang