"Kana?"
Bachtiar berhenti dan sedikit menggoyangkan tubuh yang ada di belakang punggungnya dengan perasaan takut.
"Aku masih hidup, yah."
Pria paruh baya itu bernapas lega, kembali melanjutkan langkah saat tangan kiri Arkhana memeluk lehernya lagi meski tidak erat. Ia kira Arkhana tidak akan bisa memeluknya lagi.
"Maaf, Yah. Baju ayah jadi kotor," ucap Arkhana, membiarkan darah di hidungnya keluar.
"Kotorin aja. Habis ini nih baju ayah langsung jadi serbet karena ayah kan cuma sekali pakai."
Bachtiar tetap mencoba melucu disaat hatinya terasa sakit.
Arkhana terkekeh. "Tapi kaos partai di rumah ayah pake bolak-balik."
"Ayah punya banyak itu karena jadi timses."
"Padahal bang Kairo ikut demo tapi ayah malah join grup."
Bachtiar tertawa. "Kairo ikut demo-demo itu cuma biar bisa bolos kelas, Kan. Tapi ayah biarin ajalah selagi Kairo gak makan wishkas."
Sebenarnya Arkhana ingin tertawa lepas, tapi kepalanya yang sedang dangdutan membuatnya semakin tidak berdaya. Hingga sesampainya di kamar ia dan Bachtiar disambut oleh Raina dan saudara-saudaranya lengkap. Arkhana didudukkan di kasur dan Kairo lagi-lagi segera memencet bel dengan tambah cepat melihat darah mengucur dari hidung adiknya.
"Bang, nanti rusak, bang." Ucap Arkhana lelah melihat kelakuan Kairo.
"Bodoamat nanti ayah yang ganti rugi."
Bachtiar memutar bola matanya malas, ia berkacak pinggang dan menatap sekeliling mencari sesuatu. "Tissue mana tissue."
Seno langsung mengecek sekitar sofa karena terakhir ia melihat barang itu di atas meja namun tiba-tiba tidak ada. Erlang dan Ranu ikut mencari, sedangkan Raina yang sudah tidak sabaran melepas blazer milik suaminya yang dipakai Arkhana untuk menyeka darah di hidung dan di tangan.
"Setiap genting kenapa ilang sih tuh barang, lagian beli yang kecil banget lu, Sen." decak Kairo agak ngegas tapi tidak membantu sama sekali.
Seno melirik sinis, padahal dia yang memakai terkahir. "Iya. Harusnya gue kalungin tuh tissue di leher lo biar gak ilang."
"Gak ada. Adanya gorden, Yah." Sahut Ranu mencari di dalam lemari.
"Lagi gak pengen ketawa gue, mas. Soalnya kebelet berak," Ujar Kairo malas.
Bachtiar memijit pelipisnya yang mendadak terasa pusing karena kelakuan anak-anaknya. Erlang terdiam, apa mungkin ikut kebuang saat ia beres-beres tadi?
Arkhana yang sudah tidak mampu lagi untuk terus duduk karena masih pendarahan dengan gerakan tiba-tiba menjatuhkan tubuhnya ke belakang.
"Weee!" Pekik Kairo, refleks menangkap kepala adiknya padahal sudah ada bantal.
Semua orang langsung mengelilingi kasur, melupakan tissue kecil itu dan memilih menggunakan pakaian Bachtiar saja. Ranu menggigit bibir bawahnya kuat melihat Arkhana sudah seperti ikan terdampar di daratan.
"Haduh, Kan. Lo kenapa kayak gini lagi, sih. Makanya lo tuh, keluyuran terus mana sendiri!" Omel Ranu tapi khawatir.
Erlang segera membekap mulut adiknya itu sambil melayangkan tatapan menyuruh untuk diam saja. Ranu langsung mengkerut.
"Udah berhenti," Gumam Raina lega.
Arkhana memiringkan tubuhnya, melepaskan genggamannya pada Raina dan Bachtiar karena ingin menekan perutnya yang terasa paling sakit. Mual, rasanya ia seperti sedang naik kora-kora tapi berputar 360° penuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUNGA TIDUR✔️
Fanfiction"Simpan kenangan yang baik saja. Tidurlah, pagi akan segera tiba, Arkhana." Pak Bah.