37

3.1K 315 58
                                    

Ranu menatap tidak percaya pada tiga belas bungkus rawon yang ada di atas meja makan. Baru saja ia keluarkan dari dalam kulkas.

Tiga belas.

Sebenarnya empat belas tapi sudah dibuka satu untuk dimakan Arkhana siang tadi, tapi berakhir keluar karena anak itu mengalami muntah berulang kali membuat Raina akhirnya memasak juga.

Bachtiar pulang-pulang bawa tujuh bungkus rawon, begitupun Erlang. Suatu kebetulan yang tidak terduga, saking dapatnya chemistry beli makanan pun sama. Tapi pria itu enggan menyentuh sama sekali rawon yang dibelinya dengan alasan-

"Rawonnya asin."

Arkhana menggeleng lemas di ruang tengah, hawanya seperti sedang mabuk laut. "Enggak, mas. Mas Erlang gak mau makan rawon karena keinget sama mbak lar-- huek!"

Bachtiar menatap Arkhana miris, sambil terus mengurut tengkuk anaknya. Sudah tidak ada yang keluar tapi Arkhana masih saja merasa mual.

"Ya... Manusia emang punya perasaan tapi Tuhan tetap punya ketetapan," Ujar Ranu, membuka setiap bungkus dan ia jadikan dalam satu kuali besar untuk dihangatkan. "Ajak mbak Lara login coba, mas."

Erlang mendengus, berjalan mendekati adiknya. "Apa sih, Ran. We're done, gak usah dibahas lagi."

"Orang yang bahas si Kana. Lagian lagak lo keliatan banget kalau gamon."

"Gimana nggak gamon, mbak Lara nya cakep banget. Cantik, anggun kayak cewek keraton darah biru gitu," Sahut Arkhana.

Erlang terkekeh sembari menyingkap kaos adiknya dan mengolesi dengan minyak angin. "Darah rendah dia, Kan."

"Yah, habisin rawonnya, Yah!" Teriak Ranu dari dapur. "Kenapa bunda pulang gak bawa rawon, sih??"

Mulut Ranu mulai tidak bisa diam. Bachtiar memijat kepala Arkhana takutnya pusing mendengar omelan Ranu di malam hari begini. Anak itu kalau sudah melihat sesuatu yang mengganggu hati dan penglihatannya seperti sisa makanan yang masih banyak pasti akan terus bicara tanpa henti.

"Nanti kamu anterin aja buat bunda sama Seno, sisanya biar dimakan Kairo," Ujar Bachtiar sambil melirik takut-takut pada anak tengahnya itu.

"Kairo agak gak suka sama rawon, masih sisa banyak, Yah."

"Ya udah, nanti ayah, kamu, sama mas Erlang mukbang rawon, ya. Hehe."

Meong~

Bachtiar menatap ke bawah, tahu-tahu Surga dengan tanpa dosanya menjatuhkan tubuh gembrotnya itu di atas punggung kaki Bachtiar.

"Kenapa, Sur? Mau mam rawon?"

Meong~

"Heeh?" Bachtiar menjawab sendiri pertanyaannya. "Ran tolong ambilin semangkok buat Surga, Ran! Banyakin nasinya."

Bachtiar menatap Surga. "Pakai kecambah nggak, Sur? Oh, enggak? Katanya nggak pake cambah, Ran!"

Ranu menggerutu dalam hati. Dikira ia bakul rawon.

Erlang tertawa, ia berdiri dan mengangkat kucing itu agar ke dapur sebelum bulu Surga menambah penderitaan adiknya. Kemudian mencuci tangan dan duduk kembali di samping Arkhana. Dalam diam merapikan rambut depan adiknya yang lepek membuat Erlang jadi tahu kalau suhu tubuh Arkhana mulai naik.

"Omong-omong ini babunya si Surga kemana kok belum pulang?" Tanya Ranu dari dapur.

Ia segera mematikan kompor dan ikut bergabung di ruang tengah. Bachtiar langsung membuka ponselnya dan pesan yang ia kirim untuk Kairo belum dibalas padahal sudah dibaca.

BUNGA TIDUR✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang