47

3K 358 55
                                    

"Ro... Bangun, Ro."

Kairo melenguh keras, menarik selimutnya sampai menutupi kepala saat tangan Seno menepuki pipinya. Ia hanya ingin segera tidur tapi Seno di sampingnya terus bergerak.

Plak!

"Kairo!"

"Peh, Sen!"

Kairo menyibak selimutnya kasar, lalu mengelus bokongnya yang menjadi sasaran tangan Seno.

"Lo gak bisa tidur, kan? Ayo ke rumah sakit, Ro."

Mata Kairo refleks menatap jam dinding, sudah pukul tiga pagi dan yang ia lakukan sedari tadi adalah memejamkan mata saja tapi pikirannya penuh akan nasib Kana.

"Gue tau lo kepikiran Kana, terus gue juga baru sadar kalo gue ninggalin si Surga disana. Jadi ayo ke rumah sakit sekarang aja," Ajak Seno.

"Lo tinggalin di kamar Kana?"

"Iya kayaknya."

"Gimana sih, Sen. Ntar kalau si Surga naik-naik ke kasur-"

Seno langsung menarik tangan Kairo tanpa membiarkan saudaranya itu menyelesaikan kata-katanya. Ia mengambil dua jaket yang tergeletak begitu saja di sofa.

"Surga itu udah kelewat pengertian, Ro. Gue jamin gak akan deketin Kana, tapi masa lo gak khawatir sama keadaan dia sendirian. Hah??" 

Kairo pasrah saat tubuhnya ditarik keluar kamar. Ia memutar bola matanya malas. "Kenapa lo gak temenin? Malah ngikutin gue pulang."

"Si Kana yang nyuruh gue, karena dia tau kalau lo udah marah bisa kesurupan setan beringin."

Sebenarnya sudah dari tengah malam Kairo ingin ke rumah sakit, namun lagi-lagi ego-nya yang menang dari perasaannya yang juga berkecamuk. Langkah Seno tiba-tiba terhenti saat di ruang depan, cukup terkejut melihat Erlang dan Ranu yang membuka pintu dengan gerakan sangat pelan.

"Lah, mas. Kalian mau kemana?" Tanya Seno.

Ranu yang fokus memutar kunci sontak menyentuh dada. Kaget. "Kayak tukang parkir aja lu berdua, tiba-tiba nongol."

Seno terkekeh, kembali bertanya. "Kalian mau kemana?"

"Mau jongging," jawab Erlang.

"Jam segini??" Kairo berdecih.

"Kita mau ke rumah sakit," sahut Ranu memutar bola matanya malas lalu membuka pintu. "Gue mau minta maaf karena gue pikir tadi itu keterlaluan banget."

Setelah merenung sambil makan gorengan dan kopi, ditambah ada notif transfer dari atasannya membuat pikiran Ranu langsung terang dan pusing juga hilang. Jika dipikir-pikir lebih dalam dan memposisikan diri sebagai Arkhana, Ranu mungkin juga akan melakukan hal yang sama. Meskipun masih banyak tapinya, biarlah Bachtiar nanti yang menjelaskan.

"Kita ikut sekalian ya, mas. Gue sama Kairo juga mau ke rumah sakit."

Erlang mengangguk.

"Ayah gak ikut?" Tanya Kairo.

Ranu mengendikkan bahu, tersenyum tipis. "Biarin ayah nenangin hatinya dulu. Nanti juga nyusul."

Bachtiar dan Arkhana itu sebenarnya sama saja. Mereka tidak bisa membenci seseorang yang bahkan sudah menghancurkan hatinya, dalam pikiran dan perasaannya itu selalu tertanam akan harapan-harapan meski kecil sekalipun. Mungkin karena mereka tidak pernah membenci seseorang, hati Bachtiar dan Arkhana jadi tidak tegaan begitu.

Entah ajaran dari mana, kalau dilihat dari latar belakang Bachtiar, Oma tidak pernah sebaik itu dengan orang. Begitupun Arkhana, entah bagaimana bisa tumbuh menjadi anak yang baik dengan lingkungan yang buruk. Apa mereka sering mendengarkan ceramah Hanan Ataki?

BUNGA TIDUR✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang