35

3.3K 311 40
                                    

"Beneran nggak apa-apa? Kalau mas pergi?"

Arkhana mengangguk mantap, padahal ia sudah beberapa kali mengatakan tidak apa-apa tapi Erlang dan Ranu tetap mempertimbangkan apakah harus pergi bekerja atau tidak dengan alasan tidak tenang meninggalkan Arkhana padahal sudah ada Oma, Raina, dan Cale.

Kairo tadi juga begitu, tidak mau berangkat kuliah. Kalau saja Arkhana tidak mengusulkan kepada Katarina untuk ikut Kairo kuliah, pemuda itu tidak akan berangkat. Tapi malah jadi bertengkar dengan Seno yang tadi pagi kesini untuk mengantar Raina berebut membonceng Katarina.

Surendra dan Shiren masih di hotel, katanya akan ke rumah sakit nanti sekalian membawa makan siang.

"Berangkat aja, Er. Udah UMR rendah masa gak berangkat, katanya mau beli rumah?" Sewot Oma tanpa memandang cucu pertamanya karena sibuk memotong kuku Arkhana.

"Aduh, Oma jangan pendek-pendek motongnya. Nanti sakit."

"Shut up. Biar gak jadi sarang jin."

Erlang menatap remeh Oma nya. "Enak aja UMR rendah."

"Terus?"

"Di bawahnya rendah ada nggak, Oma?"

Oma tertawa, sudah tahu kalau di Jawa tengah memang gaji UMR paling rendah. Kalau untuk memenuhi nafsunya jelas Oma tidak bisa dengan uang segitu, begitupun Surendra yang sedari kecil bergelimang harta. Namun berbeda dengan Bachtiar, dia seakan menunjukkan kalau hidup itu harus berproses. Tidak ada yang instan dan melamar kerja dengan cara nitip CV ke paman.

Kalau begitu caranya jangan sok keras berteriak baby nepotisme di depan istana negara karena kalau dalam bahasa kasarnya itu sama saja.

"Udah, sama berangkat. Kak Kana aman sama Cale," Usir Calvin.

Ranu berdecih, menatap sinis anak yang selalu menempeli adiknya. Padahal kata si Katarina, Cale tidak mau bertemu dengan Arkhana karena permasalahan itu.

"Nanti pulangnya beliin jajan ya, mas Ran." Lanjut Calvin.

"Ogah!"

Arsitek itu meraih tas di meja dan berlalu pergi. Calvin terkekeh, melambaikan tangan.

"Jajanannya terserah, mas! Yang penting enak, oke?! Tapi jangan yang murah nanti gue alergi!"

Raina tertawa, ia menunjuk bola-bola ubi di tangan Calvin dengan dagunya. "Dari tadi kamu makan ubi buatan budhe, Cal. Itu makanan murah, ati-ati nanti lidah kamu gatel."

"Ini pengecualian budhe, soalnya enak banget. Pantes budhe langsung buka warung, nanti kalau udah nikah sama pakde Atma sekalian aja bukain restoran, budhe."

"Sama pakde Atma malah nggak dibolehin kerja, Cal."

"Bagus, dong. Di rumah aja bikin ded-"

Oma langsung membekap mulut cucu kematiannya itu setelah melempar gunting kuku ke sembarang arah. "Makan aja yang anteng."

Cale merengut, ia menghempaskan tangan neneknya dan kembali makan ubi isi coklat itu dengan tenang. Erlang tertawa, ia mendekat ke arah adiknya dan mengusap singkat bekalang kepala Arkhana.

"Baik-baik, ya. Mas usahain pulang cepet nanti."

Arkhana mengangguk. "Semangat, mas."

Erlang mengacak gemas rambut adiknya, lalu menyalimi Oma dan Raina sebelum benar-benar pergi bekerja mencari cuan untuk mahar calon istrinya nanti.

Sudah pergi semuanya, ruangan itu terasa sunyi sekarang. Setelah kepergian Erlang, bunda Raina menyusul untuk berpamitan juga karena ada urusan yakni panggilan pemotretan, Arkhana berani bertaruh kalau suatu saat nanti pasti karir Raina akan melejit di dunia entertainment dengan visual seperti itu.

BUNGA TIDUR✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang