Tidak ingin larut dalam pikirannya yang semrawut, Arkhana menyibukkan diri dengan membersihkan kamar dan membaca buku dari dini hari. Mumpung Erlang sudah keluar dari kamarnya setelah Arkhana berpura-pura tidur.
Padahal tidak bisa.
Meskipun tidak teralihkan sepenuhnya, setidaknya rasa sakitnya berkurang. Padahal kalau minum obat tidur satu saja semuanya akan selesai hari ini. Ia tenang, tidur, rasa sakitnya hilang sekalian dengan nyawanya. Hehe.
Dokter Chandra sudah mewanti-wanti kepada ayah dan saudara-saudaranya kalau bisa Arkhana tidak meminum obat semacam anti-depresan, pereda nyeri, atau obat tidur lagi karena lambungnya yang sudah bobrok.
Semalam itu juga di luar kendalinya, sudah lama dan harusnya ia bisa mengontrol pikirannya sendiri. Tetapi memang kejadian masa lalu yang terputar tentang bagaimana Jonathan mencercanya dengan kata-kata kasar, menyundut kulitnya dengan rokok, memukulnya, atau yang paling menyakitkan saat Jonathan menarik oksigennya padahal ia sedang kesulitan bernapas sendiri dan banyak lagi adalah suatu mimpi buruk dalam hidup Arkhana selama tiga belas tahun.
Jika saat itu ia tidak kabur Arkhana tidak yakin apakah ia masih hidup sekarang. Teringat sekali saat ibunya sedang pergi bertugas ke Jepang, Arkhana dengan rasa ketakutan yang tinggi pergi ke bandara membawa tiket ke Bali yang ia beli secara diam-diam beberapa hari setelah dipukul oleh Jonathan.
Pikirannya kosong saat itu, tangannya bergetar hebat, bahkan bibirnya sudah berdarah karena ia gigit terlalu kuat saking takutnya. Dengan seseorang yang dari kecil disetir bahkan hanya untuk melakukan hari esok, Arkhana jelas cemas luar biasa saat berani mengambil keputusan sendiri untuk pergi dari Korea. Ia takut salah, ia takut ada orang di pesawat yang mengenalinya, Arkhana takut dipukul, sampai rasanya pesawat mulai mengudara ia makin susah bernapas karena panik. Hingga...
"Ladies and gentleman, good afternoon. Welcome to on board GI 153. This is your captain Mahatma Bachtiar speaking and I have some information about our flight."
...semuanya berubah. Tubuh Arkhana perlahan melemas saking merasa aman dan tenangnya karena ternyata ayahnya sendiri yang sedang mengemudi. Arkhana menangis tanpa suara, he's safe now. Tidak ada yang perlu ditakutkan lagi, dia sudah bersama ayah sekarang.
Dan Jonathan bilang akan menjemputnya? Kalau begitu Arkhana harap penyakitnya ini segera melenyapkannya saja.
"Saya kasih tau ya, Kana. Kamu nggak sadar kalau kamu itu luka untuk Bachtiar dan saudara-saudara mu itu? Kamu itu ada karena ketidaksengajaan yang menghancurkan rumah tangga Bachtiar. Harusnya kamu sadar untuk nggak menampakkan diri malah tinggal bareng. Kalau saya jadi kamu, saya malu."
"Bener juga, sih..."
Dengan kantung mata yang kentara, wajah kuyu dan pucat, Arkhana membuka jendela kamarnya setelah selesai dengan buku hukum perdata nya. Sembari merasakan udara pagi menerpa tubuhnya, Arkhana mengurut kepala yang terasa ditusuk-tusuk.
"Pengen tidur."
Arkhana menarik napas dalam-dalam, meraup udara segar mengisi paru-parunya yang seperti kekurangan oksigen. Lantas tersenyum saat tidak sengaja melihat Ranu sedang menjemur pakaian di bawah.
"Mas Ran-"
Ucapan Arkhana harus terhenti saat telinganya tiba-tiba berdenging panjang membuatnya refleks memejam sambil mencengkram kuat gorden putih jendelanya.
Arkhana membuka matanya lagi, beberapa kali mencoba menghilangkan pandangannya yang berbayang namun semua objek yang dilihat tetap mengganda di matanya. Arkhana berjalan dengan sangat hati-hati menuju meja belajar karena pijakannya terasa bergoyang.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUNGA TIDUR✔️
Fanfiction"Simpan kenangan yang baik saja. Tidurlah, pagi akan segera tiba, Arkhana." Pak Bah.