34

3.3K 321 26
                                    

Arkhana menatap pantulan wajahnya sendiri di kaca kamar mandi, mendesah berat dalam hati karena menyayangkan wajah tampannya jadi terlihat berbeda semenjak sakitnya makin parah begini, kalau tidak pucat bisa kali menggaet ciwi-ciwi kampus.

Rambut hitam halus tebal badainya juga, bukankah lama-kelamaan akan rontok terus botak? Padahal Arkhana sudah senang tidak wamil tapi tetap saja.

Padahal baru tadi pagi Arkhana merasa iba dengan anak berkepala plontos yang sedang bermain dengan ibunya, tapi ternyata ia bernasib sama.

Arkhana pindah rumah sakit dan Bachtiar meminta dokter Tama yang menangani Arkhana secara langsung namun ternyata dokter Tama tidak bisa karena beliau dokter spesialis gastroenterologi, kalau sudah tahap kanker lambung dokter Tama menyarankan ke seniornya dokter Chandra.

Melihat jiwa dokter itu yang penuh semangat membara, Bachtiar langsung percaya dan sudah berkonsultasi lagi katanya meskipun masih tergolong awal tidak bisa langsung operasi karena sel kanker sudah ke dinding lambung dan kemoterapi dulu.

Kan? Botak.

"Kan! Lo di dalem lama banget?? Beneran beol apa lagi muntah darah diem-diem?!"

Siapa lagi kalau bukan Kairo. Padahal Arkhana hanya sedang meratapi nasib.

"Dobrak aja pintunya! Gak sabaran gue!"

Kalau yang itu Ranu. Full ngegas dan langsung to the point.

"Iya, dobrak aja! Mas takut dia jatoh terus kepalanya kebentur, atau jangan-jangan dia udah semaput lagi. Cepet, El!"

Mas Erlang ikut-ikutan.

"Hah... Pusing kepala eike," gumam Arkhana lalu berjalan keluar sambil memegangi tiang infusnya sebelum pintu benar-benar dirusak oleh Kairo si paling gym.

Begitu pintu kamar mandi terbuka, Kairo dan Erlang yang sudah menunggu langsung memegangi tangan kanan kiri Arkhana dan Ranu menangkup kedua pipi seraya memindai dari atas sampai bawah.

"Oh... Aman."

Lantas Arkhana dituntun dengan sangat pelan layaknya orang baru melahirkan. Bahkan Seno sampai menyibak selimut dan menepuk-nepuk kasur sebelum Arkhana naik. Ia hanya bisa pasrah sambil merotasikan bola matanya jengah.

"Kalian ini memperlakukan gue kayak yang besok meninggal aja."

Karena sedang tidak ingin berdebat, Kairo diam saja dan tetap membantu adiknya naik ke atas kasur. Ia masih terkejut dan tidak ingin terima fakta itu.

"Udah, tiduran aja jangan banyak gerak biar cepet sembuh. Lo gak pengen pulang ke rumah?" Sembur Ranu sembari menumpuk beberapa bantal di belakang punggung adiknya agar anak itu bisa tidur dengan nyaman tanpa berbaring.

Jika berbaring terlentang, anak itu akan kesulitan bernapas lalu berakhir memakai bantuan oksigen.

"Iya. Pengen pulang, kasian Surga kesepian di rumah. Tabebuya kita kalau mati gimana, mas Ran? Dia pasti haus sekarang gak ada yang nyiram," Arkhana berujar panik. "Nanti kalau Surga dikawinin sama Valerie gimana, bang Kai? Pulang yok."

"Bodoamat, Kan. Mau pulang-pulang si Surga udah lahiran juga gue nggak peduli, syukuri aja lah, pasrah gue kalau besanan sama Bu Dewi," Jawab Kairo jengah. "Sekarang yang penting itu elo."

Erlang mengangguk, menarik beberapa lembar tissue. "Jangan ngajak pulang kalau jalan dari kamar mandi ke kasur aja udah keringet dingin kayak gini," Ucapnya datar, menghapus titik keringat di dahi adiknya.

"Kerasa bengek, nggak?" Tanya Ranu.

"Enggak, mas." Jawab Arkhana cepat. "Aman, kok. Udah makan, udah minum obat, besok juga sembuh gue terus makan seblak."

BUNGA TIDUR✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang