"Seberapa keras kamu nolak buat ke rumah sakit, tetap berakhir kesini kalau memang takdirnya harus kesini, Kana."
Raina memandangi Arkhana yang tampak terpejam damai setelah diinjeksi dan diuap di IGD setelah kehilangan kesadaran saat diperjalanan menuju rumah sakit. Melihat ketidakwajaran atas kesakitan anaknya, Bachtiar meminta dokter untuk melakukan tes menyeluruh mumpung anak itu sedang KO namun kata dokter menunggu keadaan Arkhana stabil dulu.
"Its okay, bunda disini," Ucap Raina saat Arkhana bergerak gelisah. "Kamu nggak sendirian."
Melihat Arkhana tampak lelap lagi, Bachtiar menghela napas berat sembari menutup tirai agar anaknya bisa beristirahat dengan damai. Panik sekali melihat Arkhana tergeletak di lantai dengan darah keluar dari mulutnya. Sepanjang perjalanan juga sesak napas, ternyata Hb nya anjlok sampai ke angka enam dan harus transfusi darah.
Bachtiar hampir menyerah menyetir di jalan saat melihat Arkhana seperti simulasi meninggal tadi, ia nyaris menghentikan mobilnya dan memanggil ambulans namun ia pikir itu akan makin membuang waktu. Salahnya juga yang kepalang panik sehingga tidak memanggil bantuan dari awal.
Anak-anaknya sedang dalam perjalan ke rumah sakit, Bachtiar tidak langsung mengabari karena saking takutnya sampai lupa. Ia yakin Kairo sedang ngepot-ngepot membawa motornya sekarang. Membayangkan itu, Bachtiar terkekeh tapi menangis.
Astaga, kapan Arkhana akan benar-benar baik-baik saja.
Bachtiar tidak pernah tidak menganggap anak itu meski tahu fakta bahwa dia bukan darah dagingnya, dari dulu rasa sayangnya tetap sama sebagai ayah dan anak. Tidak pernah ada rasa benci terbesit dalam benak karena Bachtiar hanya menaruh rasa itu pada ibunya.
Yang sekarang tampak terlihat mondar-mandir di tengah koridor lengang sambil menggigiti jari.
Entah apa yang sedang dia lakukan disini, Bachtiar menghampiri wanita modis itu.
"Orang cerdas mana yang ngasih anaknya kopi padahal tau sedang kesakitan seperti itu?"
Aluna yang entah mengapa mengikuti Bachtiar ke rumah sakit itu pun terkesiap saat tahu-tahu pria yang diikutinya ada di depannya.
"Saya nggak tau kalau dia Arkhana. Saya hanya punya air itu dan saya kira anak itu dalam keadaan darurat yang butuh minum," Tekan Aluna.
Bachtiar melipat tangannya, menatap Aluna lelah. "Anak itu, anak itu. Dia anakmu. Jenguk dia."
Aluna menggeleng.
"Sejak dia memilihmu dan meninggalkanku, dia bukan anakku lagi. Aku juga tidak mau punya anak penyakitan seperti itu. Dia pembawa sial di hidupku."
Bachtiar itu orangnya penyabar, sangat sabar namun karena pikirannya sudah kacau saat melihat Arkhana kambuh tadi ia jadi ingin mencekik leher mantan istrinya itu.
Ia hanya ingin segera mendengar kabar baik dari dokter tapi selalu ada saja yang mengujinya.
"Dia memang memilihku, Lun. Tapi dia masih berharap tempatnya pulang tetap pada dirimu, aku tahu dia masih sayang padamu meski kamu sudah menyakiti fisik dan mentalnya begitu asal kamu mau berubah. Dia masih membutuhkan mu."
Membutuhkannya? Aluna berdecih, dia sudah punya 'bunda' nya itu bahkan tidak melepas genggaman tangan tetapi Bachtiar bilang masih membutuhkannya? Yang benar saja, dia bahkan terlihat bahagia meski penyakitan seperti itu.
"Terserah, aku tetep benci anak itu."
Merasa pembicaraan ini tidak akan ada habisnya, Bachtiar mengacak rambutnya dan ingin ke kamar mandi. Ada darah Arkhana yang mengering di jari-jarinya. Namun baru selangkah pergi, tangannya ditarik oleh Aluna. Bachtiar terhenti, menatap datar tangan Aluna yang menyentuh pergelangan tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUNGA TIDUR✔️
Fanfiction"Simpan kenangan yang baik saja. Tidurlah, pagi akan segera tiba, Arkhana." Pak Bah.