Prolog

17.2K 651 38
                                    

"Gimana bisa kamu ada disini??"

"Naik pesawat, ....om?"

"Iya, I know tapi Mami tau kan kamu kesini? Pengen liburan ke Bali emang?"

"Enggak... Pengen ketemu sama... abang-abang."

"Ah... Iya. Tapi kita sudah gak tinggal di Bali."

"D-di mana?"

"Solo."

Bachtiar menggeleng-gelengkan kepalanya untuk membuyarkan lamunan tentang kejadian semalam di mana ketika ia menuju ruang peristirahatan setelah menerbangkan pesawat dari Seoul ke Denpasar ada seorang remaja yang berlari menghampirinya dengan ransel besar yang dipeluk erat.

Sudah tiga belas tahun tetapi wajahnya tidak banyak berubah, matanya bulat dan jernih sekali, hidung yang kecil tapi mancung, bentuk bibir yang menggemaskan, mirip sekali dengan ayahnya dan sebenarnya Bachtiar benci sekali jika harus teringat kembali apalagi hanya dengan melihat wajah remaja itu.

Namun ia adalah manusia yang masih punya hati, ia tidak tega melihat wajah lelah anak itu berubah pucat ketika ia bilang sudah pindah rumah. Bachtiar ingin sekali membawanya pulang sekalian agar mata lelah itu segera bisa diistirahatkan namun tidak ada penerbangan dari Denpasar menuju Solo pada jam malam.

"Ro, nanti lo kuliah pake mobil mas aja, ya?"

"Ogah!"

"Hari ini doang!"

"Mang kenapa sih? Mau dibawa kemana motor ganteng gue itu?"

"Kan mas nanti ngecek proyek perum yang deket Merapi tuh, males kalo bawa mobil."

"Pake motornya mas aja, El."

"Gapapa lah, mas Er. Ntar katanya juga si Seno mau jemput."

"Yaudah kalo gitu kenapa harus sewot tadi!"

"Awas aja sampe lecet!"

Bachtiar lagi-lagi geleng-geleng kepala melihat kelakuan tiga anaknya yang rusuh di ruang tengah, yang sayangnya laki-laki semua jadi rumah kalau lagi berisik ya berisik sekali atau ketika hening mengalah-ngalahi kuburan. Padahal mereka sudah bukan anak kecil lagi.

Sulungnya, yang baru muncul dari pintu jemuran namanya Airlangga Mahatma Bachtiar. Umurnya sudah 25 tahun dan sekarang sudah bekerja di penerbitan buku yang ia bangun sendiri sejak lulus dari perkuliahan dengan prodi penerbitan atau jurnalistik. Tidak hanya menerbitkan tetapi Airlangga juga menjadi penulis buku, content writer untuk naskah iklan, penyiaran televisi, ataupun radio.

Kemudian yang kedua, Ranubayu Bachtiar. Dia itu ABG, Arsitek Baru Gede. Setelah lulus dari jurusan arsitektur nya di Bandung kemudian profesi, Ranu belum puas dan mengambil program Magister. Dia sudah bekerja di sebuah kantor konsultan arsitek mandiri milik dosennya, dengan berani mengambil proyek pembangunan perumahan dekat Merapi sebagai proyek pertamanya.

Bachtiar membebaskan anak-anaknya dalam memilih jalan hidupnya masing-masing, asal senang, asal bertanggung jawab atas apa yang sudah dipilih. Biar tidak ada alasan depresi karena tekanan orang tua, karena Bachtiar sendiri yang malah depresi apalagi dengan kelakuan anak terakhirnya.

Adalah Elkairo Reiga Bachtiar. Kata tetangga, di antara ketiga anaknya nama Elkairo paling keren. Dibilang begitu Bachtiar hanya nyengir, sejak Kairo lahir ia bisa melihat aura bad boy dari wajah bayi Elkairo, dan sekarang nyatanya benar kalau Elkairo tumbuh menjadi anak yang suka seenaknya sendiri, namun tidak apa-apa selagi Kairo masih mau pergi ke masjid bersama Ranu.

"Berarti gak ada yang nganggur di rumah hari ini?" Tanya Bachtiar membuat ketiga laki-laki di ruang tengah menoleh terkejut.

"Lah, ayah kok ada di rumah?"

BUNGA TIDUR✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang