15

134 28 133
                                    

Akibat Jiya dan Georgia yang pergi dari hidupnya, membuat rumahnya menjadi sangat sepi.

Lelaki itu, menatap kosong ruang keluarga yang biasa di tempati oleh mereka, kala menikmati waktu weekend. Bersenda gurau, hingga lupa akan waktu. Air matanya kembali menetes. Ia melangkahkan kaki menuju sofa favorit istri tercintanya. Mengelus pantat sofa, dengan pelan. Rasanya, kehangatan Jiya masih melekat pada sofa tersebut.

Sayang, maafkan aku ... rintihnya.

Memang benar, berita tentang dirinya sudah menyebar. Pihak agensi dari keduanya juga sudah mengumumkan jika berita itu benar adanya. Tapi jauh dari lubuk hatinya yang paling dalam, ia masih mencintai sosok Jiya yang sudah menemaninya selama ini. Jisoo hanya sebuah masa lalu yang memang seharusnya ia lupakan. Tapi, mengingat kejadian tempo lalu, membuat dirinya merutuki kesalahannya sendiri.

Ia menyesal.

Ia bodoh.

Memang pantas, dirinya diperlakukan seperti ini.

"Ck! Apa yang kau lakukan, Pak tua? Merutuki kesalahan terbesarmu? Dan, selingkuh?"

Suara yang baru saja tiba, membuat Joshua menengok sekilas. Di sana, Jeonghan tengah menatap tajam.

"Jaga mulutmu, Yoon Jeonghan!"

"Jaga mulutku? Untuk apa? Kau bahkan tidak bisa menjaga nafsumu sendiri, dan menyelingkuhi Jiya." Jeonghan tidak takut pada Joshua.

"Yoon Jeonghan!" teriak Joshua dengan marah.

Baru kali ini, lelaki tersebut nampak marah. Ia marah akan perlakuannya sendiri. Dan ia sangat bodoh.

"Kenapa kau marah? Apa ucapanku salah? Karena kau dan selingkuhanmu itu, keluarga kalian hancur! Apa kau tidak memikirkan kondisi psikis Georgia? Jiya, apa kabar dia?! Jika kau tidak bisa membahagiakannya, mengapa kau menikahinya, bodoh!"

Jeonghan berbicara, dengan kedua mata yang melotot marah. Lelaki itu, dikenal karena memiliki tempramen yang tinggi, oh jangan lupakan juga Cheol. Dia bersikap seperti ini, bukan untuk membela siapapun. Ia tidak ingin karir grupnya hancur, dan Jiya mendapat kritikan tajam dari para netters.

"Meskipun kau lebih tua beberapa bulan dariku, tapi beginikah caramu berbicara tanpa sopan santun?"

Jeonghan tersenyum remeh. "Ck! Siapa bilang, aku menghormatimu? Memang benar, aku menghormatimu sebelumnya. Tapi, setelah kejadian ini, jangan harap! Joshua yang selalu aku hormati, sudah mati, setelah ia meninggalkan Jiya dan lebih memilih bersama jalang itu!"

Hampir saja Joshua memukul Jeonghan, tapi beruntung ia masih bisa menahan emosinya.

"Pukul aku, jika kau merasa ucapanku salah!" tantang Jeonghan.

"Tolong pergilah, Jeonghan ..." pinta Joshua.

Jeonghan menaikan salah satu alisnya. "Mengapa? Agar kau bisa berduaan dengan wanita jalang itu?"

"T-tidak--"

"Tidak salah lagi, itu maksudmu?" tanya Jeonghan.

"Kumohon pergilah," Joshua berlutut di hadapan Jeonghan.

"Percuma kau seperti ini, tidak akan mengubah apapun. Kau tetaplah kau, lelaki bajingan!"

"YOON JEONGHAN! AKU SUDAH CUKUP SABAR MENGHADAPIMU!" emosi Joshua sudah tidak bisa dibendung lagi.

Brak!

Jeonghan memukul meja kaca, hingga pecah. Ia menaikan bibirnya, seringainya sangat menyeramkan. Bahkan, ia tidak merasakan kesakitan sedikitpun, meskipun lengannya berdarah.

"Cukup, Jeonghan."

Setelah membuat keributan yang cukup besar, Jeonghan pergi meninggalkan Joshua sendirian.

Lagi. Ia sendirian.

Tidak ada yang mau menemaninya, sekalipun anggota grupnya sendiri. Ia memang bodoh. Ini kesalahan terbesar, yang sudah diperbuatnya. Berapa kalipun ia menyesal, tidak akan ada kesempatan baginya untuk kembali.

Jiya ...

2 Minus 1 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang