05

217 30 15
                                    

Jiya menatap suaminya tidak percaya.

"Ada apa?" tanya Joshua dengan suara lembut.

"Ah? Tidak ..." terdengar suara helaan nafas dari bibir Jiya.

"Bicaralah ..."

"Aku takut kau sibuk, sayang."

Joshua tersenyum, lalu mengacak rambut sang istri dengan gemas.

"Tidak, aku libur hari ini. Jadi ... ada apa?"

"Ah, begini ... apa kau benar-benar mencintaiku?" tanya Jiya dengan suara pelan.

Joshua tidak bisa menahan tawanya, ini sungguh menggemaskan.

"Jangan tertawa!" sentak Jiya.

"Kenapa kamu bertanya seperti itu, sayang?" tanyanya.

"Aku hanya penasaran, dari puluhan ribu bunga yang sangat cantik serta mekar. Kenapa kamu memilihku untuk menjadi kekasihmu lalu menjadikan aku sebagai ibu dari anak-anakmu? Aku sempat ketakutan, jika kamu hanya ingin mempermainkanku saja."

Joshua tersenyum, menatap Jiya dengan tatapan dalam. Jelas, sangat jelas ... kedua matanya menampakkan bahwa lelaki tersebut sangat mencintai wanitanya, tatapannya penuh cinta. Lalu, menariknya kedalam pelukan. Mengelus punggung mungil tersebut, mengecup puncak kepalanya berkali-kali.

"Jawab!" tegur Jiya, tak sabaran.

"Sabar, sayang. Aku sedang menyiapkan kalimat yang cocok untukmu."

"Aku tidak butuh kalimat panjang lebar, Joshua." Jiya lalu menarik diri, dari pelukan suaminya.

"Aku hanya ingin mencoba menjadi pria romantis, apakah itu salah?" tanya Joshua.

"Kau bahkan mendapat julukan gentle sexy, dari para fans-mu, Josh."

"Itu penilaian dari fans, tapi aku akan membuatmu tercengang akan kalimat yang sudah aku susun rapi, tapi sayangnya, kamu hancurkan begitu saja. Aku melupakan kalimatku, Jiya." Joshua mulai histeris.

"Aku bahkan tak menyangka, jika para fans-mu menganggapmu waras," ujar Jiya.

"Aku gila, hanya bersamamu, sayang."

"Diamlah, Josh!" seru Jiya.

"Baiklah, aku akan susun ulang kalimatnya. Dengarkanlah, ya? Dan tolong, kau jangan terkejut."

"Apa itu?"

"Begini, Jiya ... aku menjadikanmu Nyonya Hong, bukan tanpa alasan. Alasanku itu sangat klise, aku melihat sosok diriku yang lain jika sedang bersamamu. Aku bisa tertawa lepas tanpa merasa takut sedikitpun. Meskipun puluhan ribu bunga mengejarku, nyatanya mata serta hatiku tertuju padamu, sayang. Dan kamu tidak perlu khawatir, hatiku sudah jatuh terhadapmu. Pintu hatiku sudah tertutup rapat, dan kuncinya, hanya ada padamu seorang. Maka dari itu--" Joshua menjeda kalimatnya. "--Rawatlah Gia dengan sepenuh hati, karena itu buah cinta kita. Jadilah Ibu yang bisa dia banggakan, dan jadilah istri yang bisa membuat aku, nyaman. Aku tidak butuh kamu yang tiba-tiba menjadi pendiam, aku hanya butuh kamu apa adanya. Jadilah diri kamu sendiri. Aku mencintaimu, seperti aku mencintai Ibuku. Seperti aku mencintai para member. Jadi, tolong ... jangan mencurigaiku lagi, ya?"

Jiya kehabisan kata-kata, sungguh ini adalah kalimat paling romantis yang ia dengar.

"Tapi, Josh. Dalam agamaku, kalimat 'seperti aku mencintai Ibuku,' itu dilarang, dan ada hukumnya. Entahlah, aku bukan ahli agama. Aku hanya pernah membacanya," jelas Jiya.

"Oh, aku tidak tau, maaf. Aku ralat," Joshua mulai mencari kalimat yang pas. "Aku mencintaimu, seperti aku mencintai diriku sendiri. Dan nyatanya, kau adalah rumahku, Jiya."

Siapa yang menyangka, pertemuan keduanya, membuat mereka akhirnya bisa menjalin hubungan dengan sangat baik. Takdir terkadang, memang sangat lucu. Ia tidak bisa diprediksi.

2 Minus 1 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang