13

128 27 15
                                    

"Ayo kita foto bersama." Jiya mengerutkan kening, saat ajakan itu keluar dari mulut Joshua.

"No! Aku baru saja bangun tidur, dan kau mengajakku untuk berfoto? Apa kau gila, Joshua Hong?!" lalu Jiya dengan segera menarik selimutnya.

"Sudahlah tak apa, kau akan tetap cantik dalam kondisi apapun."

Meski awalnya menolak, tapi pada akhirnya Jiya membuka selimutnya.

"Kenapa tidak daritadi, hm?" lalu mengecup bibirnya sekilas. "Ayo!"

Joshua mengarahkan sebuah kamera, lalu mulai membidiknya.

Lalu sebuah serangan tak terduga, membuat Jiya membelalakan kedua matanya.

"Apa yang kau lakukan, Joshua?!"

"Lihatlah ekspresimu," Joshua menunjukan hasil fotonya. "Kau sangat lucu!"

Jiya tak menggubris ucapan lelaki di sampingnya, lalu mengusap pipi kirinya yang mendapat kecupan secara mendadak.

Pria bermarga Hong itu, hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ini akan menjadi hobi baru untuknya.

****

Jari telunjuknya menggeser foto yang terdapat di galeri ponselnya. Sesekali mengubah posisi tidurnya. Sebenarnya, ini sudah cukup malam untuknya terus menatap layar ponsel, tapi anehnya kedua matanya, tak kunjung menutup.

Sudut bibirnya terangkat naik, begitu ia menggeser layar ponsel, dan mendapati foto dimana Joshua mencium pipinya. Lagi dan lagi, dirinya merindukan sosok suaminya tersebut.

Seventeen sedang melakulan tour dunia, otomatis membuat Joshua tak kunjung pulang. Ia bahkan rela pulang-pergi bandara, demi jadwalnya yang sangat padat.

Mungkin dia terlalu sibuk, untuk memegang ponsel. batin Jiya. Menghela nafas panjang, seraya memejamkan kedua matanya.

****

"Mommy! Mommy! Mom ..." Gia berusaha membangunkan Jiya yang sedang menangis dalam tidurnya.

Mencoba segala cara untuk membangunkan sang Ibu. Lalu tanpa pikir panjang, gadis kecil tersebut berjalan menuju area telepon rumah, dan mulai menghubungi Gitta.

****

"Dimana Ibumu, sayang?" tanya Gitta dengan panik.

"D-di ata," Gitta lalu menggendong Gia dalam dekapannya, dan mulai berlari dengan hati-hati.

Gitta melihat, jika Jiya tidak sedang dalam kondisi yang baik. Keringat membanjiri tubuhnya, belum lagi raungan isak tangisnya.

"Jiya, sadarlah ..." Gitta menggoyangkan tubuh sahabatnya yang tak kunjung terbuka. "Jiya ..." lagi, Gitta mengusap air mata yang membasahi wajah cantik Jiya.

Perlahan, kedua mata tersebut mulai terbuka dengan sempurna.

"Mommy!" panggil Gia, langsung berlari mendekap tubuh sang ibu.

"Apa yang k-eh? Apa yang sudah aku lakukan?" tanya Jiya.

"Gia, sayang ... pergi main bersama Gicheol, ya? Ajak dia bermain di kamarmu," ucap Gitta dengan suara lembut. Lalu Gia dengan segera pergi dan menggandeng lengan Gicheol.

"Ada apa denganmu?" tanya Gitta.

Jiya tak langsung menjawab, "Aku hanya bermimpi. Mimpi yang begitu terasa sangat nyata."

"Perihal Joshua?" tanya Gitta.

"Istri manapun, pasti menunggu kabar dari suaminya, bukan?" tanya Jiya.

Sebentar, ini ada yang tidak beres.

"L-loh? Joshua tidak mengabarimu?" tanya Gitta dengan raut terkejut.

"Tidak sama sekali."

"Seungcheol baru saja mengabariku, bahwa mereka sudah selesai konser. Dan besok pagi, bisa segera pulang."

Jiya tersenyum miris.

"A-aku tidak bermasud membuatmu berpikir yang tidak-tidak, Jiya. Mungkin ponsel Joshua ada kendala atau misalkan dia melupakan ponselnya atau apapun itu?"

"Ya, Gitta. Kau benar, aku mohon ... sekarang, kau pergilah."

"Kau mengusirku?" tanya Gitta.

"Tidak, aku hanya terlalu lelah. Biarkan aku istirahat, ya?"

"Tidak bisa seperti ini, pikirkan Gia. Jangan egois, dengan hanya memedulikan perasaanmu saja. Ingat, ada Gia di sampingmu."

"Iya! Sudahlah, aku malas berdebat denganmu."

"Biarkan aku yang membuatkanmu sarapan," ucap Gitta.

"Tidak! Kau pulanglah."

"Ya, sudah."

Gitta lalu pergi meninggalkan Jiya, dan membawa Gicheol untuk segera pulang.

Kepergian Gitta, membuat Jiya kembali mengingat ucapan dari sahabatnya tersebut. Ia lagi dan lagi menangis, cairan bening itu, kini kembali mengalir.

2 Minus 1 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang