51

194 14 0
                                    

"B-berita apa?" beo Jiya.

"Berita mengenai--" Joshua lalu berjalan mendekat. "--Mengenai kita."

Jiya melototkan kedua matanya tak percaya. "A-apa yang kau maksud?"

Joshua tersenyum, sangat manis. Ia lalu melepaskan jaket yang ia kenakan, dan segera menyampirkannya pada pundak wanita tersebut.

Senja telah menghilang, tergantikan oleh langit malam. Semilir angin, bertiup sangat kencang. Dinginnya menusuk hingga ke tulang.

Di sebuah bangku yang sepi oleh pengunjung rumah sakit, Jiya menatap satu-per satu daun yang menari kesana kemari. Suhu dingin menyergap kulitnya tanpa permisi. Sepertinya hujan akan datang, sebentar lagi. Dan kini ia hanya ingin membiarkan dirinya basah oleh air, serta membiarkannya meratapi takdir yang sangat lucu ini.

Tetes-tetes hujan mulai menyapa tubuhnya. Dan tak butuh waktu lama sampai tubuhnya benar-benar kuyup.

Detik kemudian, tangisnya pecah.

"Mengapa kau selalu jahat padaku, Tuhan?!" tanya Jiya, disela isakannya. "Aku hanya memintamu untuk membuatku merasakan kebahagiaan itu lagi, apakah sangat sulit?"

Ia tidak mengerti dengan sikap yang diberikan oleh mantan suaminya tersebut. Pria itu mudah sekali mempermainkan hatinya.

Kata orang, wajar jika hatimu sering sakit, karena itu artinya kamu begitu tulus mencintainya. Tapi, apa cinta itu memang selalu menyakitkan? Sudah tau menyakitkan, bodohnya Jiya selalu jatuh dengan yang namanya 'cinta.'

Nasib itu bisa diubah, tapi jika sudah membahas takdir, manusia mana yang bisa bertindak?

Sakit, dan Jiya sudah terbiasa. jatuh lalu bangun, kemudian jatuh lagi itu sudah lumrah untuk dirinya.

Mungkin ia selama ini selalu menjadi kuat. Menjadi wanita paling kuat, yang dikenal oleh para sahabatnya. Tapi tanpa mereka tau, bahwa sebenarnya dia sangat rapuh.

Hanya saja hatinya terlalu rapuh, rapuh mendengar semua yang dikatakan oleh para penggemar dari mantan suaminya. Perlakuan itu, sungguh membuat hatinya sakit. Di saat dirinya sudah mulai membiasakan diri, tanpa hadirnya Joshua. Tapi lelaki itu, dengan tanpa berdosanya, melintas kembali ke dalam hidupnya. Mengisi kekosongan hatinya, yang selama ini hampa.

Mentalnya terlalu lemah untuk menghadapi semua. Batinnya terlalu rumpang untuk menahan semua beban itu.

Tangisnya pecah, bukan, bukan karena tubuhnya yang begitu sakit. Tapi karena hatinya sudah teriris dengan habis.

Ini terlalu sakit Tuhan, untuknya.

Air mata wanita itu jatuh, lagi dan lagi. Pandangannya mengabur, ia lelah.

Jiya butuh sosok yang mengerti akan dirinya, yang membuatnya nyaman. Ia ingin merasakan perasaan itu lagi, dari Joshua.

"Maaf," bisik Joshua lemah. Pria itu menarik lengan wanitanya, menggenggamnya dengan erat.

Jiya tidak bersuara, matanya menatap lurus ke arah depan. Tatapannya mengunci pada satu titik, yang menurutnya ini sangat nyata.

"Dari banyaknya ketakutan, kehilanganmu adalah hal yang paling aku takuti. Tapi melihatmu menderita di sampingku, itu jauh lebih mengerikan, Jiya-ya." Joshua berbicara dengan suara bergetar.

Ia mengecup puncak kepala wanitanya dengan sayang. "Merelakanmu dengan laki-laki lain, aku tidak bisa. Aku akui, jika aku egois dan bodoh."

Air mata Jiya menetes jatuh. Di saat yang bersamaan, bahu pria di hadapannya bergetar hebat. Joshua menundukkan wajahnya, menjadikan telapak tangan wanita itu sebagai tumpuannya.

2 Minus 1 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang