31

104 39 154
                                    

Lagi dan lagi, entah ini takdir atau Tuhan memang sedang mempermainkannya. Kedua insan manusia yang saling mencintai, tapi tidak ingin saling menyakiti itu, kini mereka kembali dipertemukan dalam kondisi yang berbeda.

Jiya bertemu dengan Joshua, tepat di pusat perbelanjaan. Wanita itu sedang bersama Taehyung, dan Joshua sedang bersama wanita yang sangat ia benci. Ya, dia bersama Jisoo.

Mereka saling tatap dalam beberapa detik, lalu setelahnya kembali pada pasangan masing-masing.

Bukankah Joshua sudah tidak memiliki hubungan dengan Jisoo? Lalu, apa ini?! batin Jiya.

Sejujurnya, Jiya maupun Joshua tidak bisa mengalihkan masing-masing pandangannya. Seperti ada bidang magnet yang berusaha menarik keduanya.

Apakah dia sibuk berkencan, sehingga lupa, jika dia sudah memiliki seorang anak? batin Joshua.

Tak menunggu waktu lama, Joshua menarik lengan Jiya dan segera keluar dari pusat perbelanjaan itu. Meskipun wanitanya memberontak, tapi ia tak akan melepaskannya.

"Ada apa denganmu?!" seru Jiya, begitu mereka sudah berada di area yang menurutnya aman.

Joshua melepaskan topi yang dikenakannya. "Ada yang ingin kubicarakan denganmu. Jadi tolong tenang dan dengarkan baik-baik. Bisa, 'kan?"

Jiya mendesah pelan. "Maka, bicaralah."

"Jangan bereaksi dan membuat kesimpulan sendiri, sebelum aku menyelesaikan pembicaraan ini. Paham?"

"Iya. Cepatlah!"

"Aku tidak mengerti dengan perasaan ini, tapi sepertinya kau menjauhiku? Beberapa kali aku menatapmu, kau seakan tak ingin membalas tatapanku. Kini kita sama-sama bersama pasangan masing-masing, bukan? Aku berusaha memahami posisimu yang hanya sebatas mantan istriku. Sakit hatimu terhadapku. Kebencianmu. Dan mungkin akan ada balas dendam untukku. Bukan hanya kamu yang menderita, Jiya. Aku juga. Aku sama menderita sepertimu. Jika kamu memang tidak akan pernah membalas perasaanku, dan kita tidak bisa bersama kembali, tolonglah. Jangan membuatku berharap lebih, jangan membolak-balikan perasaan orang. Sadar atau tidak sadar, kamu mulai ragu untuk melangkah, Jiya. Buka pikiran dan hatimu. Runtuhkan sedikit egomu. Dulu kamu merutukiku, dengan berkata bahwa egoku selebar jagat. Lihatlah sekarang, kata-kata itu berbalik menyerangmu. Cintaku, tak apa kamu tolak. Tapi, tolong jangan bohongi hatimu sendiri. Hm?" tutur Joshua penuh arti.

Ceramah singkat itu, berhasil memukulnya telak. Ia seperti orang dungu yang sedang berdiri pada tiang bendera. Ya, tepat sekali. Seperti itulah kondisinya saat ini. Ia sebenarnya sudah lelah. Sempat terbesit untuk melarikan diri sejauh mungkin, hingga tidak terlihat oleh Joshua. Tapi itu semua, hanya akan menjadikannya pecundang.

Hidup bahagia dengan penuh cinta, siapa yang tidak menginginkan itu? Andaikan kamu tau, Joshua. Perasaanku masih sama seperti dahulu, tidak berubah sama sekali. Kita sama-sama saling menyakiti. Aku membenci diriku sendiri. Maka dari itu, aku juga takut untuk melangkah lebih maju. batin Jiya.

Jiya terdiam menatap Joshua. Mata mereka saling beradu pandang. Tatapan sendu Joshua, bertemu dengan tatapan dingin Jiya. Seakan bisa saling berbagi kesedihan, keduanya bertahan pada posisi itu, selama beberapa saat. Joshua memalingkan wajahnya, selama beberapa saat. Lalu mundur beberapa langkah dari hadapan Jiya.

"Anggap saja, kita sedang berada di perahu yang sama. Lupakan urusan perasaanku padamu, begitupun mungkin sebaliknya. Jika kita kembali bertemu, aku tidak ingin membuatmu tidak nyaman dengan berada di dekatku. Bersikaplah seperti sebelum kau mengenalku. Sampai jumpa, Jiya."

Kalimat penutup tadi, menghujam langsung ke dasar hatinya. Tubuhnya membeku di tempat. Menatap punggung Joshua yang semakin lama, semakin hilang dari pandangannya. Ditemani semilir angin yang entah mengapa, dirasanya semakin dingin, membelai wajah cantiknya. Hatinya sakit, bagai disayat sembilu. Tak terasa, air mata membanjiri kedua pipinya.

Jiya berjongkok di tempatnya berada. Menangis terisak. Andai angin yang menemaninya bisa bicara. Mungkin dia sudah mengumpat daritadi, ketika melihat betapa egoisnya dirinya. Ia bodoh! Mengapa ia susah sekali mendapat perhatian dari Joshua. Perihal mengucapkan 'jangan pergi! Aku membutuhkanmu' saja, ia tidak sanggup. Kini hanya penyesalan yang terakhir datang menemani.

2 Minus 1 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang