19

76 15 0
                                    

Jiya merasa kikuk yang luar biasa, memandang Wonwoo yang sedang berada di hadapannya, mengenakan bucket hat berwarna putih. Keduanya bertatapan selama beberapa saat, tanpa mengatakan apa-apa. Tangan Wonwoo pun, sudah berada di atas meja. Mendorong dua bingkisan besar berupa sebuah parfume merk ternama dan beberapa oleh-oleh dari Eropa yang dibeli oleh Joshua, sebelum hubungan keduanya menjadi seperti ini.

"Wonwoo," panggil Jiya sedikit serak. Ia menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa menerima ini."

"Kenapa? Itu bukan dariku, itu dari Joshua. Sebelum kejadian bodoh itu terjadi." Wonwoo berbicara, seraya bersidekap dada.

"A-ini, aku tidak akan menerimanya."

"Terima saja, atau aku buang?"

Ludah dalam tenggorokan Jiya, terasa sangat kasar, ia kesusahan untuk menelan salivanya sendiri. Ditatapnya bingkisan tersebut. "B-baiklah."

"Apa kau tidak mengkhawatirkan Joshua?"

Pertanyaan dengan suara dalam itu, membuat Jiya menegang. Namun sebisa mungkin, ia mengontrol ekspresinya.

"Joshua sangat--" Wonwoo menjeda kalimatnya. "--Sangat kacau. Bahkan, ia tidak layak disebut manusia."

"M-maksudmu?" tanya Jiya.

Wonwoo menarik senyuman tipisnya. "Sudah aku duga, bahwa kau mengkhawatirkannya."

"Ya! Berhenti main-main dengaku! Atau, aku adukan ini kepada tunanganmu!"

"Aku tidak mempermainkanmu, Jiya. Itu benar adanya. Joshua, sangatlah kacau. Tidak ada penerangan pada rumahnya, tubuhnya kurus kering. Aku tidak tau, dia mengkonsumsi makanan atau tidak."

Penjelasan dari Wonwoo, membuat Jiya semakin khawatir. Nafasnya tercekat, dadanya nyeri luar biasa.

"Apa tidak ada cara, untuk kalian kembali bersama?" tanya Wonwoo.

"Wonwoo, apakah kamu tau ... itu sama saja dengan membaca sebuah novel yang sudah pernah kamu baca, akan hambar rasanya dan kau akan tau ending-nya seperti apa. Dan kejadian itu, tidak menutup kemungkinan, pasti akan terulang kembali."

"Tapi, apakah kau tidak mengkhawatirkan kondisi Georgia?"

"Aku jelas mengkhawatirkannya, maka dari itu, aku tidak mengizinkan Gia untuk menonton televisi. Aku tidak mau, jika mental anakku terkena imbasnya."

Wonwoo mengangguk setuju. "Maksudku, dia masih kecil dan belum mengerti apapun. Apakah dia tidak merindukan sosok Joshua?"

Pertanyaan Wonwoo, membuat Jiya terdiam. Sang anak memang kerap kali bertanya tentang keberadaan Joshua, dan dengan terpaksa, Jiya berbohong untuk menutupi itu semua. Ia terlalu takut, jika mental Gia akan rusak, jika mengetahui bahwa ayah dan ibunya sudah tidak bisa bersama kembali.

"Bukankah ini yang terbaik?" tanya Jiya, dengan tatapan kosong.

"Coba pikirkanlah," Wonwoo lalu menghela nafas. "Setidaknya bertahanlah dan lakukan yang terbaik, hanya untuk Georgia."

"A-aku harus apa?" tanyanya dengan nafas tercekat.

Wonwoo menghela nafas, "Lakukan, apa yang ingin kau lakukan. Ikuti kata hatimu, Jiya. Jangan terpaku terhadap masalah itu, aku tidak menyuruhmu untuk memaafkannya, tidak sama sekali. Tapi ... melihat kondisi Joshua yang seperti ini, itu membuatku sakit. Apakah kau tidak ingin menemuinya, barang sedikit saja?"

"Aku perlu waktu," jawab Jiya.

"Ya, aku tau. Kau perlu waktu, tapi jujurlah padaku. Hati kecilmu mengatakan, bahwa kau mengkhawatirkannya, bukan?"

Deg.

Ucapan Wonwoo benar adanya, ia mengkhawatirkan Joshua. Sisi egoisnya, perlahan mulai memudar.

"Tapi aku tidak bisa menemuinya sekarang," cicit Jiya.

"Oke, aku mengerti." Wonwoo lalu bangkit dari posisinya, ia hendak pulang.

"Tunggu sebentar, aku akan membuatkan makanan untuknya. Bisakah kau antarkan itu?" tanya Jiya.

"Tentu, aku akan mengantarkannya."

Sepeninggal Jiya, Wonwoo menghela nafas lelah.

Hyung, kau bodoh, karena telah menyelingkuhi wanita baik seperti Jiya! rutuknya dalam hati.

Ia mulai bermain ponselnya, rasa kantuk tiba-tiba menyergap, namun ia masih harus terjaga.

"Apa kau mengantuk?" tanya Jiya, yang baru saja keluar dari dapur, dengan membawa sebuah wadah berisi makanan.

"Ah, hanya sedikit." Wonwoo tersenyum kikuk.

"Tolong antarkan ini, untukku, ya?" pinta Jiya.

Wonwoo mengangguk, lalu pamit untuk segera menuju kediaman Joshua. Sebenarnya ia tak yakin akan keputusannya tersebut. Ia ragu, jika Joshua akan memakan masakan Jiya.

2 Minus 1 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang