04

225 34 18
                                    

Joshua pulang pada tengah malam, sebelumnya ia sudah memberitau Jiya, bahwa ia akan pulang telat.

Berjalan dengan gontai, kedua matanya sangat lelah. Latihan kali ini, sangat menguras tenaganya.

Matanya berkaca-kaca, kala melihat makan malam yang masih rapi, nyaris tidak tersentuh sama sekali. Ia merasa bersalah.

Lalu dengan segera bergegas menuju kamar utama, tapi tidak menemukan kebedaraan Jiya di sana.

Tatapannya mengarah pada kamar sang anak, dan nampaklah Jiya tengah tertidur bersama Gia dipelukannya. Ada jejak air mata, pada pipi mulus istrinya.

Apa yang salah? batin Joshua.

Ia menatapi wajah damai sang istri, sangat cantik. Lalu melepaskan pelukannya pada Gia.

"Sayang ..." Joshua membangunkan sang istri dengan pelan.

"Ngh ..." Jiya terganggu dari tidurnya.

"Bangunlah, tidurlah di kamar kita ..." bisiknya dengan suara lembut.

"Kau sudah pulang?" tanya Jiya, dengan kaget.

"Ya, aku baru saja pulang. Dan oh, apakah kau menangis, sayang?"

"Ah, eh? Aku tidak menangis," kilah Jiya.

"Apa yang kau tangisi?" tanya Joshua dengan wajah sendu.

"Mari kita berbicara berdua saja, aku tidak ingin membangunkan Gia yang tengah tidur."

Mereka berjalan beriringan menuju halaman depan, menikmati angin malam yang sebentar lagi menjelang pagi.

"Apa kau menginginkan sesuatu?" tanya Joshua. "Seperti kopi atau cokelat hangat?"

"Aku hanya ingin cokelat hangat," jawab Jiya, dengan suara pelan.

Joshua mengangguk paham, ia lalu bergegas menuju pantry. Dan segera membuatkan minuman hangat, pesanan sang istri tercinta.

"Apa yang kau tangisi?" tanya Joshua dari arah belakang, kedua tangannya membawa cokelat hangat.

"Ah ..." Jiya nampak berpikir.

"Aku mengharapkan kejujuranmu, sayang."

Jiya tertegun akan kalimat dari suaminya, ia harus menceritakan mulai darimana?

"Aku masih menunggu," ucap Joshua, lalu tersenyum. "Menunggu, hingga kau siap untuk bercerita."

"Kau darimana saja?" tanya Jiya, pada akhirnya.

"Aku? Aku latihan, sayang. Apakah kamu curiga terhadapku?"

"Latihan? Tapi mengapa yang lain tidak?" tanya Jiya.

"Apa maksudmu?" tanya Joshua. "Yang lain siapa? Aku jelas latihan bersama Seokmin, Woozi, Jeonghan, Seungkwan dan yang lainnya."

"Tapi, mengapa Seungcheol dan Mingyu, tidak?"

Joshua tersenyum paham, "Oh ayolah, apa yang harus mereka latih lagi? Mereka rapper dan mereka juga ada keperluan. Seungcheol menemani Gitta yang sedang sakit, kau pun tau itu, sayang. Sedangkan Mingyu, dia sedang tidak enak badan. Jangan bilang, kamu sedang mencurigaiku?"

Jiya kehabisan kata-kata, ia malu setengah mati. Bagaimana bisa, bertanya pertanyaan bodoh seperti itu. Yang sudah jelas jawabannya.

"Aku tidak akan berpaling darimu, sayang. Kamu duniaku, kamu kebahagiaanku, dan kamu selamanya untukku. Tidak ada wanita lain, yang dapat mengisi relung hatiku, selain kamu." Joshua mengambil nafas dalam, lalu mengecup kedua tangan Jiya. "I love you."

2 Minus 1 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang