27

64 11 0
                                    

Kedua matanya menangkap sosok yang selama ini masih berputar di pikirannya.

Setelah lima tahun lamanya, kini ia bisa kembali melihat dengan jelas raut wajah tersebut.

Laki-laki itu meraih lengan Jiya dengan kasar, dan mencengkramnya kuat. Membuat wanita itu memberontak, meminta dilepaskan.

Yang harus dia lakukan adalah, berusaha menghindarinya. Ia tidak ingin membuat berita baru.

Panik.

Itulah yang kini tengah dialami Jiya saat ini. Nafasnya tidak stabil. Jantungnya berdetak dengan sangat cepat.

Jiya menatap dengan sorot kebencian, ketika lelaki itu memaksanya untuk menatap matanya.

Kata maaf, baru saja dilontarkannya. Tapi Jiya tidak ingin mendengarkan itu. Ia hanya ingin menjauh dari Joshua, dan menghindari pers.

Joshua melemparkan tatapan memohon, meminta agar wanita itu tidak pergi lagi.

"Aku minta maaf, dan maukah kau kembali padaku, Jiya?"

"Maaf? Dan kembali padamu, setelah apa yang sudah kau lakukan?"

Joshua menarik nafas.

Tidak. Tentu saja tidak akan bisa termaafkan.

"Aku tau, kau memang tidak berniat memaafkanku, dan aku juga tidak pantas mendapat maaf darimu. Tapi Jiya, harus kau tau ... aku sangat menyesal. Aku memang bodoh. Aku memang brengsek. Aku--"

"Kau adalah yang terburuk, dari yang paling buruk. Itulah kau di mataku, Joshua."

Nyes.

Kata-kata itu menukik tajam, mengiris hati laki-laki itu.

"Aku memiliki alasan, Jiya."

"Aku tidak butuh alasanmu!" teriak Jiya. "Setelah menyelingkuhiku, kau menceraikanku. Memang itu yang aku mau, tapi mengapa hatiku sakit? Bukankah, ini yang aku mau? Kau egois, Joshua! K-kau lelaki terjahat yang aku kenal! Kau membiarkan dunia menghakimiku seenaknya!"

"Apa kau mau dengar, penjelasanku?" tanya Joshua. "Setelah mendengar penjelasan ini, terserahmu, mau berbuat apapun."

Jiya bergeming.

Tentu saja ia ingin tau, apa alasan sebenarnya dari keputusan yang sudah dibuat oleh pria itu.

Pasti ada sebabnya, bukan?

Namun, apapun alasannya. Ia rasa, lebih baik dirinya tidak mengetahui apapun.

"Sebaiknya tidak! Aku tidak ingin mendengar penjelasan darimu, Josh."

"Aku akan terus menerus mendatangimu, Jiya."

"Tidak perlu! Aku tidak ingin bertemu denganmu lagi."

"Aku akan melakukan segala cara, agar kau memaafkanku."

Jiya mendelik tajam. "Dan aku tidak ingin terjerumus ke dalam lubang yang sama, Josh. Itu sangat menyesakkan untukku. Aku harus berjuang sendirian, sedangkan kau? Kau sibuk tebar senyuman, seolah tidak terjadi apa-apa. Aku membenci itu, Joshua! Mengapa hanya aku yang terlihat paling menyakitkan di sini? Dunia tidak adil, terhadap seseorang yang menjadi korban dari kerasnya dunia ini. Aku benci itu!"

Joshua berjalan mendekat, membuat Jiya mundur beberapa langkah.

"Jangan mendekat!"

Namun Joshua tidak mengindahkan larangan tersebut, ia malah semakin mendekat. Membuat Jiya memasang wajah peringatan.

"Jika kau macam-macam dengaku, aku tidak segan-segan untuk mengacaukan acara pesta ini!"

"Aku tau, kau merindukanku, Jiya ..." ucapnya dengan suara pelan.

"Hahaha!" Jiya tertawa masam, lalu tatapnnya menjadi tajam. "Sepertinya kau sudah mabuk, Tuan Hong?"

"Aku bahkan tidak menenggak minuman itu, dan kini aku sepenuhnya sadar."

Deringan ponsel itu, membuat Joshua menghentikan langkahnya. Beda halnya dengan Jiya, wanita itu tampak tersenyum, sebelum mengangkatnya.

"Ya, hai, sayang! Kau dimana?"

Kalimat yang Jiya lontarkan, sukses membuat Joshua terdiam kaku. Kedua matanya melotot sempurna.

S-sayang? batin Joshua.

Siapakah itu?

Kira-kira, ada hubungan apa, antara Jiya dan si penelepon?

Banyak sekali pertanyaan yang memenuhi kepalanya.

"Siapa dia?" tanya Joshua, ia mencekal pergelangan tangan mantan istrinya.

"Bukan urusanmu!" cetus Jiya.

Dalam sekali tarikan, Jiya sudah berada tepat di depannya. Ia meraih pinggang rampingnya, jarak antara keduanya sangat minim, deru nafas keduanya saling bersahutan.

"Awas!" Jiya mendorong dada bidang Joshua.

"Kau sangat cantik, Jiya ..." Joshua mengelus puncak kepala wanita itu, ia bahkan tak sadar, jika bibirnya makin lama, semakin dekat dengan bibir Jiya.

"Minggir!" Jiya berusaha untuk melepaskan diri.

Jun yang dari kejauhan sudah melihat hal itu, dengan segera berlari. Ia menarik lengan Rere, agar bisa menahan amukan seorang Jiya.

"Hyung, lepaskanlah. Banyak wartawan di sini," ujar Jun.

Joshua hanya menoleh sekilas, lalu kembali mengelus pipi mantan istrinya.

"Sadarlah, Joshua!" pekik Rere, dengan suara tertahan.

"Jangan mengganggu kami!" desis Joshua.

"Kau cari mati, Hyung?" tanya Jun. "Apa kau ingin menghancurkan pesta Woozi?"

Mendengar ucapan dari Jun, lelaki itu dengan segera menghentikan aktivitasnya. Ia menundukkan wajahnya, terlanjur malu.

"Dasar!" decih Rere, lalu dengan segera meraih lengan Jiya, agar ikut bersamanya.

"Kau pergilan sendiri, Jiya. Rere ada urusan denganku," ucap Jun. Mereja berdua bergegas pergi, begitu mendapat anggukan dari Jiya.

"Ada apa denganmu?" tanya Rere, begitu mereka sudah berada di tempat lain. Lalu tanpa diduga, Jun dengan segera memeluknya dari belakang. Menghirup aroma yang menguar dari tubuh sang kekasih. "Ada apa?"

"Tidak ada," ucap Jun. "Aku hanya ingin memelukmu."

Rere mendelik sebal. "Maka nikahilah aku, kau bisa memelukku sepuasnya."

"Ayo!" ajak Jun.

"Kemana?" tanya Rere, dengan ekspresi bingung.

"Altar."

"Hah? Siapa, Altar? Apakah kau mempunyai teman baru?" tanyanya.

"Altar pernikahan," jawab Jun dengan santai.

"Berhenti bercanda Moon Junhui!" desis Rere.

"Aku tidak bercanda, Re. Menikahlah denganku," pintanya.

Rere memejamkan kedua matanya, "Bahkan, aku tidak tau jika kau sedang serius atau tidak. Karena hidupmu, penuh dengan candaan."

"Aku kali ini serius."

"Aku tidak akan mudah percaya, Jun. Apa kau ingat, kejadian dua minggu yang lalu?" tanya Rere, yang langsung diangguki olehnya. "Kau melamarku, dan saat aku meng-iyakan ajakanmu, ternyata itu semua hanya sebagian dari prank yang kau buat. Aku lelah, aku juga ingin seperti Pia, seperti Gitta, dan bahkan Jeonghan yang benar-benar otaknya licik saja, dia bisa dengan serius melamar Nura." Rere menahan nafasnya. "AKU INGIN SEPERTI MEREKA, MOON JUNHUI! TIDAK HIDUP DENGAN SEMUA CANDAMU, AKU LELAH. AKU HAMPIR TIDAK BISA MEMBEDAKAN, MANA NYATA DAN TIDAK. KARNA SEMUA UCAPANMU, MENURUTKU ITU SANGAT DI LUAR NALAR."

"Kapan kau akan berubah, hm?" kini Rere semakin melunak, air matanya mengalir tanpa persetujuan. "Kau sudah de-kita sudah dewasa, dan hubungan kita yang paling lama dari mereka semua. Tapi, tidak ada kemajuan sedikitpun diantara kita." Rere tertawa sumbang. "Nampaknya hanya aku yang menginginkan adanya pernikahan, sepertinya kau tidak satu tujuan denganku. Sudahlah, Jun. Let's take a break for a moment, I'm tired of all this."

2 Minus 1 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang