Gitta melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh, bukan hanya dirinya. Pia, Nura serta Rere, pun mengikuti dari belakang.
Yang ada dipikiran mereka hanya satu, yaitu Jiya.
Jiya ... aku mohon!! batin Gitta.
Sesampai di rumah megah nan asri itu, mereka memarkirkan mobilnya dengan asal dan mulai berlari.
Namun nahas, mereka melihat jika Jiya tidak baik-baik saja. Terduduk di atas lantai yang dingin, menangis tanpa suara. Isakannya begitu pilu. Gitta dengan segera meraih Georgia yang nampak ikut menangis.
"Sini sayang," Gitta mendekap tubuh mungil gadis tersebut. "Dengarkan apa yang Bibi ucapkan, ya? Gia anak baik, kamu anak cantik, lindungi Mommy, ya? Mau 'kan?"
Gia yang tidak tau apa-apa, hanya bisa mengangguk.
"Re, tolong jaga Gia. Bawa dia ke kamarnya, dan tidurkan dia ..." ucap Gitta.
"Aku akan menidurkan Gia, kalian tolong jaga Jiya untukku, ya?" pinta Rere.
Pia mendekat ke arah wanita rapuh tersebut, mengusap pundaknya dengan pelan.
"Aku yakin, kamu bisa lewatin ini."
Jiya menggeleng lemah, air matanya kembali menetes.
"Jangan buang air mata berharga kamu, hanya untuk mendengarkan berita yang belum tentu benar adanya." Nura kini ikut menenangkan.
"T-tapi, Joshua sendiri yang klarifik--"
Belum sempat Jiya berbicara, Gitta lebih dulu memotongnya. Ia melemparkan ponselnya begitu saja. Sungguh, dirinya sangat kesal terhadap Seungcheol. Bisa-bisanya tidak bisa dihubungi di saat keadaan yang sangat genting seperti ini.
Bruk!
"Ah, sialan!" sentak Gitta.
Ya, mereka tau. Jika Gitta adalah wanita temprament. Di saat seperti itu, mereka hanya bisa menghela nafas. Lelah dengan semua ini.
"Apa yang harus aku lakukan?" tanya Jiya dengan isak tangis.
Gitta mondar-mandir, ia tidak bisa berpikir jernih. Pikirannya terlalu berantakan.
"Tenang, oke?" Pia menghela nafas panjang. "Kamu hanya perlu tenang di saat seperti ini, jangan gegabah. Biarkan Joshua yang menyelesaikan ini semua."
"Beritanya sudah tayang, Joshua juga sudah klarifikasi semua. Dan memang benar, jika dia mempunyai hubungan khusus dengan Jisoo. K-aku, Gia bagaimana?" tanya Jiya.
"LAKI KALIAN PADA KEMANA, SIH?! NGGAK ADA SATU PUN YANG BISA DIHUBUNGI?!" tanya Gitta, ia sudah tidak bisa sabar menunggu.
"Tadi Jeonghan kasih kabar, katanya mereka mau kesini," cicit Nura.
"Tenanglah, aku yakin ini semua hanya sebuah prank? Kita semua tau, jika Joshua memiliki kegilaan yang segudang, bukan?" tanya Pia.
"Tanyakan pada Wonu, apakah ini hanya sebuah lelucon? Hanya Wonu yang aku rasa, ucapannya bisa dipercaya." Gitta kembali memungut ponselnya yang sudah hancur lebur.
Pia dengan segera meraih benda pipih dari dalam tasnya, dan mencoba menghubungi kekasihnya tersebut.
Melihat Pia yang menjauh saat menerima panggilan, membuat Jiya ketakutan. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya, air matanya kembali menetes.
Oh Tuhan ...
"Bagaimana?" tanya Nura, namun Pia hanya diam.
Mendengar suara mobil yang baru saja tiba, membuat Jiya berlari ke arah kamar.
"Re, kunci pintu untuk Gia!" teriak Jiya, sebelum dirinya memasuki kamar.
Rere yang mendengar itu, dengan segera menurut.
"Apa yang kau lakukan?" Gitta berlari menuju kamar Jiya, ia melihat jika wanita itu tengah membereskan semua pakaiannya.
"Tidak! Tidak bisa seperti ini ..." ucap Nura, ia mencoba menghentikan Jiya, namun usahanya gagal. Wanita itu terlalu kuat untuknya.
"Kita bicarakan baik-baik, ya?" pinta Gitta.
"Tidak ada! Aku sudah cukup lelah dengan semuanya!" Jiya tidak bisa mengontrol emosinya.
"Sayang?"
Panggilan itu, membuat Jiya menoleh sekilas. Lalu menghapus air matanya dengan kasar.
"Jangan seperti ini, kita bicarakan semuanya secara baik-baik."
Jiya menatap Joshua dengan tatapan dendam, "APA YANG KAU INGINKAN?"
"Mari kita bicarakan baik-baik, hm?"
Jiya mendelik sebal, "ITU YANG KAU INGINKAN? BAIKLAH! AKU INGIN KAU MELEPASKANKU."
Joshua menatap tak percaya, "Tidak, aku tidak bisa melepaskanmu."
"BAIK, MAKA PILIHLAH!" Jiya menghela nafas panjang. "AKU ATAU JISOO?"
Pertanyaan itu, membuat Joshua terdiam.
"Ini bukan ranah kita," Seungcheol menarik Gitta, namun wanita itu melawan.
Plak!
Tamparan keras, mendarat dengan sempurna. Bukan Gitta yang melakukan, tapi Jiya. Ia menampar wajah suaminya sendiri.
"Lelaki bajingan! Enyahlah!"
"Dimana, Gia?" tanya Joshua dengan suara pelan. Ia merutuki nasibnya. Bagaimana bisa dirinya terjebak one night stand dengan sesama rekan artis. Terlebih, Jisoo adalah masa lalunya.
"Bukan urusanmu ..." Jiya memelankan suaranya. "Terima kasih untuk semuanya, Shua."
Joshua yang mendengar nama panggilannya, seketika hatinya mencelos. Sangat sakit.
"Aku tidak akan menyalahkanmu atas semua ini, tapi ... tolong biarkan aku pergi, hm?" tanya Jiya, dengan suara pelan. Tatapannya sangat sendu. "Aku lelah, selamanya, kamu adalah ayah dari Georgia."
Setelah mengucapkan itu, Jiya menyeret kopernya menuju kamar sang anak yang tengah tertidur. Menggendongnya dengan susah payah, sebelah tangannya menyeret sebuah koper besar.
"Biar aku yang gendong," ucap Seungcheol.
Ia tak habis pikir dengan apa yang sudah Joshua lakukan, itu merupakan tindakan yang bodoh.
"Oh, satu lagi ..." Jiya membalikan badan, sontak Joshua ikut berbalik. Kedua matanya saling menatap, mengunci setiap pergerakan. "Tolong kembalikan aku pada Ayah dan Ibuku, seperti kamu meminta aku pada mereka. Jika kau sudah merasa membaik, bicaralah dengan mereka, tanpa adanya paksaan."
"J-Jiya ..."
Jiya tersenyum, tidak, itu bukan senyuman tulus. Melainkan senyuman penuh penderitaan.
"Biarkan aku memelukmu sekali saja," pinta Joshua.
Jiya tak menjawab, lalu Joshua memeluk tubuh istrinya. Dan mengecup puncak kepalanya dengan sayang, lalu terakhir mengecup bibir mungil itu dengan singkat.
Semua yang melihat, tak kuasa untuk meneteskan air mata. Sungguh, ini sangat mengharukan.
Kisah cinta yang kerap kali diidam-idamkan oleh para member, kini kandas begitu saja, akibat kebodohan yang Joshua perbuat sendiri. Mereka sangat menyayangkannya. Sekalipun lelaki itu tengah mabuk, seharusnya ia bisa menahan hasratnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
2 Minus 1 [END]
FanfictionSeorang gadis yang tidak menyangka akan bersanding dengan salah satu Idol ternama. pertemuan mereka yang tidak sengaja, membuat keduanya menjadi dekat dan akhirnya saling mengikat janji dalam sebuah pernikahan. meskipun mereka terhalang oleh tembok...