"Jiya ..."
Dapat dilihat jika Jiya menatapnya dengan tatapan tajam sekarang. Aura dingin, langsung menguar dari wanita tersebut.
Tidak, ini bukan Hong Jiya yang ia kenal. Jiya tidak berhati dingin seperti ini. Walaupun Joshua sudah lama tidak bertemu dengan mantan istrinya itu, tapi dia masih bisa merasakan kehangatan, meskipun wanita tersebut sangat membencinya.
"Aku ingin bicara denganmu," ucap Jiya, dengan dingin.
"Jiya-ya!" bujuk Nura, hendak menghampiri sahabatnya tersebut, namun ditahan.
"TETAP DISITU, YOON NURA!" teriaknya.
Jika sudah seperti ini, mungkin masalahnya akan sangat rumit untuk diselesaikan. Mereka tidak menyangka, jika Jiya bisa semarah itu.
"Jiya, kita bisa selesaikan masalah ini dengan baik-baik. Kau tenang dulu, jangan terbawa emosi seperti itu," kini Jeonghan ikut menasehati.
Rere merangkul Jiya dan menyuruhnya untuk duduk. "Duduklah, kita bicarakan ini dengan hati tenang."
"Re ..." Jiya menolak halus. "Aku hanya ingin berbicara dengan Joshua saja, hanya itu."
"Baiklah, mari kita bicara." Joshua akhirnya berbicara.
Semua member, menatap Joshua dengan tatapan tak percaya.
Lalu tanpa aba-aba, Joshua menarik lengan Jiya untuk meninggalkan ruangan tersebut. Laki-laki itu membawanya menuju taman belakang.
Mereka berdua tidak berbicara satu sama lain. Hanya hembusan angin yang menerpa masing-masing wajah, serta tak lupa suara jangkring yang mendominasi.
"Ada apa? Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Joshua, memulai pembicaraan.
"Kau--" Jiya menggantungkan kalimatnya. "--Sebenarnya, apa yang kau mau?"
"Aku?"
"Iya! Kau! Kau selalu saja datang ke dalam mimpiku, bahkan sering kali berputar di pikiranku!" teriak Jiya. "Aku muak, Joshua! Rasanya aku muak, jika harus bertemu denganmu seperti ini. Tapi, aku harus tau, apa maumu sebenarnya?"
"Kau sungguh ingin tau?" tanya Joshua.
"Ya, aku sangat ingin tau."
"Ah, sungguh malam yang kelam." Joshua menatap langit yang bertabur bintang. "Di sana ..." ia mulai menunjuk bulan yang sangat bersinar terang. "Moonbin sedang memperhatikan kita, Jiya. Lihatlah, dia tersenyum bahagia, karena akhirnya bisa melihat kita bersama, meskipun mungkin tidak untuk selamanya. Tapi, taukah kamu?"
Jiya menatap Joshua sekilas, lalu menggeleng.
"Sebelum Moonbin dinyatakan meninggal, dia sempat berbicara padaku. Bahwa kita panutan untuknya, hubungan kita sangat harmonis dan dia sangat menyukainya. Tapi nyatanya--" Joshua menghela nafas. "--Kita berpisah juga."
Jiya menatap bulan yang ditunjuk Joshua, ia tersenyum. "Apa aku terlalu jahat padamu?" tanyanya dengan kedua mata yang masih menatap langit.
"Ya, kau jahat padaku."
Jiya menoleh, lalu tersenyum manis. Membuat Joshua salah tingkah dibuatnya.
"T-tunggu, apa maksud dari senyumanmu itu?" tanya Joshua.
"M-maafkan aku ..." lirih Jiya.
Joshua mengedipkan kedua matanya berkali-kali, ia tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Hingga tanpa sadar, ia berdiri dan mundur beberapa langkah. Cairan bening, menetes begitu saja. Ya, ia baru saja menangis.
Hey, tunggu! Bukankah jika seorang laki-laki menangis, itu tandanya dia benar-benar mencintai wanitanya?
"Aku ingin melihatmu bahagia, meski tanpa aku, Jiya! Tapi, mengapa kau malah menghampiriku kembali?" Joshua menangis haru, ia bingung harus bagaimana. Selama ini, ia tak berani mengatakan yang sebenarnya pada wanita itu.
"Aku rela kau berkencan dengan laki-laki lain, bahkan dengan memberku sendiri! Aku rela hatiku sakit seperti ini, demi melihatmu bahagia, Jiya."
Mulut Jiya mendadak bisu, ia bungkam. Tak bisa membalas ucapan Joshua sedikitpun.
"Mungkin kau berpikir jika aku berbohong sekarang, terserah kau mau percaya apa tidak. Tapi itulah kebenarannya," lanjut Joshua.
Joshua pergi menjauh dari Jiya, dalam hal ini mereka sama-sama tersakiti.
Mengapa di saat Jiya sudah mulai berusaha membuka hatinya kembali, untuk Joshua. Tapi lelaki itu seolah menolaknya?
Apa ini yang disebut karma?
Ia menangis dalam diam.
Di kesunyian malam, dengan bulan yang meneranginya, seorang wanita menangis dengan tersedu-sedu.
Joshua tidak berani menoleh ke belakang. Dia tidak kuat, untuk melihat wajah wanita yang dia cintai, sedang menangis.
"KAU EGOIS, JOSHUA!" teriak Jiya.
"Aku cukup sadar diri, untuk tidak memaksamu menjadi istriku kembali. Kita tidak mungkin bersama lagi, Jiya. Kita sudah terlalu jauh untuk kembali bersama." Joshua kini berbicara, tapi kedua matanya berlinang air mata.
Jiya sudah tidak bisa mengatakan apapun lagi, dia tidak sanggup untuk berbicara sepatah katapun. Bagaimana pun, Joshua benar. Mereka memang tidak bisa kembali, seperti waktu dulu.
Ya, dia benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
2 Minus 1 [END]
FanfictionSeorang gadis yang tidak menyangka akan bersanding dengan salah satu Idol ternama. pertemuan mereka yang tidak sengaja, membuat keduanya menjadi dekat dan akhirnya saling mengikat janji dalam sebuah pernikahan. meskipun mereka terhalang oleh tembok...