17

118 27 72
                                    

Hong Jiya, menumpu dagunya di atas tangan. Menatap layar televisi yang sedang menayangkan sebuah berita.

Tayangan tersebut, menarik perhatian ibu muda itu. Berita tentang idol sebuah grup ternama yang terus menerus membuat kontroversi. Memang berita tersebut tidak menjelaskan secara detail. Membuat para pentonton, pasti membuat spekulasi sendiri.

Member grup? Siapa itu? Apakah aku mengenalinya? batin Jiya.

"Apa kau mengenali mereka?" Nura bertanya, membuat lamunan Jiya buyar.

"A-aku jelas tidak kenal, bahkan berita itu tidak memberikan inisial nama dan sebagainya. Bagaimana bisa, aku mengenalinya?"

Nura tersenyum dalam diam.

"Mengapa kau tersenyum?" tanya Jiya, penuh selidik.

"A-aku? Kapan?" tanyanya.

"Jangan mengalihkan pembicaraan!" sentak Jiya.

"Aku tidak mengalihkan pembicaraan, nyatanya, memang aku tidak sedang tersenyum."

Jiya menghela nafas, Nura memang memiliki sifat jahil yang sangat di luar nalar mereka. Sangat cocok, jika disandingkan dengan Jeonghan.

"Bagaimana bisa, kau menjalin kasih dengan Jeonghan, jika sikap kalian sama saja?!"

Nura tidak menghiraukan keluhan itu. Baginya, Jeonghan adalah dunianya. Ia sangat bersyukur, karena bisa dipertemukan oleh lelaki jahil dan berhati hangat sepertinya. Ia tidak ingin dunianya hancur, maka segala cara, ia akan lakukan demi dunianya tidak runtuh.

"Apa kau tidak merindukan Joshua?" tanya Nura, dengan suara pelan. Bahkan nyaris tidak terdengar.

Jiya menatap sosok di hadapannya, dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Kau sungguh tidak merindukannya?!" pekik Nura.

"Bohong, jika aku mengatakan bahwa aku tidak merindukannya."

"Lalu?" tanya Nura.

"Lalu apa?!" cetus Jiya.

"Mengapa kau marah-marah?! Tidak bisakah, kau menjawab seperlunya saja?" omel Nura.

"Apa maumu?" tanya Jiya.

"Aku hanya ingin memastikan, bahwa kau merindukannya atau tidak."

"Jujur, aku merindukannya. Tapi ..." Jiya menjeda kalimatnya. "Aku akan memberikan Joshua pelajaran."

"Apa kau akan menceraikannya?" tanya Nura.

"Hingga detik ini, aku belum berani pulang ke rumah Ayah serta Ibuku, karena apa? Karena Joshua sendiri yang seharusnya mengantarkanku pulang, dan meminta maaf kepada kedua orang tuak--" suaranya bergetar hebat. "--Tuaku. Dia seharusnya meminta maaf  bahwa dia telah ingkar janji, dan tidak bisa menepati janji, yang dulu kami sebutkan. Di Altar pernikahan."

Sakit rasanya, mendengar kalimat yang keluar dari mulut sahabatnya. Siapapun pasti akan merasa kecewa, bukan?

"Seharusnya, dari dulu ... jika dia belum bisa melupakan masa lalunya, ak-aku memintanya untuk menyelesaikannya terlebih dahulu. Agar hubungan kita berdua, tidak seperti ini."

Bagaikan ditusuk ribuan jarum yang tak berbentuk, hati Nura sakit mendengarnya.

"Aku tau ..."

"Apa kamu tau, seberapa hancur hatiku? Menyaksikan jika suamiku sendiri yang meng-konfirmasi berita tersebut? Bah--"

Jiya tidak bisa melanjutkan kalimatnya, ini sangat sesak.

"Tidak perlu dilanjutkan." Nura memeluk tubuh ringkih sahabatnya.

"Bahkan, dia tidak memikirkan perasaanku? Hahaha! Bagaimana hancurnya aku?"

"Stop, Ji! Please ..." Nura mengeratkan pelukannya. "Aku akan selalu ada untukmu, ada yang lain juga."

"Ini, sakit ..." lirihnya.

"Berhenti sakiti hati kamu sendiri, dengan kembali mengingat kejadian itu. Lupakan. Itu hanya akan menambah hatimu sakit saja. Jangan buang energimu, untuk mengingat lelaki bajingan itu. Kamu pantas bahagia, Jiya ..."

"Tapi, jika bahagiaku ternyata ada pada Joshua, aku bisa apa, Nura?" tanya Jiya, dengan tatapan sendu.

"Aku mohon ... jadilah wanita cerdas seperti sebelumnya, Jiya."

Jiya hanya tersenyum.

"JANGAN HANYA TERSENYUM, JIYA! BERI AKU JAWABAN!" pekik Nura.

"Nura ... aku lelah ..."

"Ya! Kau bisa istirahat. Terima kasih, karena sudah terbuka terhadapku."

"Titip Georgia untukku, ya?" pintanya.

"Tidak, aku tidak ingin mengasuh Georgia. Aku tidak ingin mendapat titipan apapun darimu. Sebaliknya, k-kau yang seharusnya merawat anakmu sendiri!" seru Nura. "Aku bahkan sudah kerepotan untuk mengurus seorang Yoon Jeonghan, yang benar-benar layaknya bayi besar."

Oh, Tuhan ... biarlah Nura egois untuk kali ini.

"A-ak--"

"Berhenti berbicara omong kosong, Jiya. Dan sekarang, pergilah ke kamar tidurmu!" seru Nura.

"Nura, please ..." rengeknya.

Wanita di hadapannya menghela nafas lelah, ia memejamkan kedua matanya. Memijat pelipisnya. "Oke, baiklah. Aku akan merawatnya sebaik mungkin."

Setelah mengucapkan itu, Jiya kembali menuju kamarnya. Sudah beberapa hari yang lalu, dirinya menginap di rumah Nura. Ia belum berani untuk pulang ke Indonesia dan bertemu dengan kedua orang tuanya.

Ayah ... maafkan aku, yang ternyata membuatmu kecewa atas pilihanku sendiri. Aku lelah, Ayah ...

2 Minus 1 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang