63. Home

169 17 2
                                        




"Silahkan masuk, Kim Namjoon"

Seorang pria paruh baya mengulurkan telapak tangan terbukanya, mempersilahkan pemuda itu duduk.

"Saya telah membaca berkas-berkas Anda"
"Dan dengan rekomendasi dari ayah Anda yang juga pemegang saham rumah sakit ini, saya secara pribadi ingin menyambut Anda untuk bergabung"

Namjoon tersenyum menunduk mengusap tengkuknya.

"Dokter senior yang akan menjadi pembina Anda akan segera datang untuk memperkenalkan seisi rumah sakit ini"

"Saya harap kalian dapat menyelesaikan program ini dengan baik"

Sang pria berdiri untuk menjabat tangannya sebelum Namjoon keluar dari ruangan itu dengan perasaan tenang.

Setelah beberapa minggu disibukkan dengan urusan kepindahannya, akhirnya Namjoon menjejakkan telapak kaki di tanah air.


Memulai hari dengan optimisme tinggi, wajah cerah secerah musim panas, ia merapikan jubah putihnya kemudian berjalan tegap dengan kacamata berbingkai tebal menggantung di tulang hidung mungilnya.

"Day one....pencarian Seokjin dimulai" Ia terkekeh pelan saat pintu lift di hadapannya terbuka.


Suara tawa anak kecil yang berlari melewatinya membuat tubuhnya sedikit tersentak mundur.

Rumah sakit terlengkap itu telah menjadi tujuan utama bagi jenjang pendidikannya sejak beberapa bulan lalu.

Mungkin targetnya tidak berada disini.

Namjoon telah membuang harapan tinggi itu sejak sang ayah mengabari bahwa Seokjin telah keluar dari rumah sakit.

Nomor ponselnya tidak lagi aktif sejak ia pulang ke tanah air. Kesibukan sang ayah baik di luar kota maupun luar negeri pun menjadi hambatan untuk beliau melanjutkan pencariannya.

Tapi Namjoon tak peduli. Mereka telah berada dalam satu atmosfer yang sama.

Dan seorang pemuda yang tengah jatuh cinta itu akan melakukan apapun demi menemukan kekasihnya.

Namjoon terdiam sejenak. Apa yang akan ia lakukan waktu bertemu Seokjin nanti?.

Apakah pemuda itu masih seperti dulu?.


"Can I still call You Love?"

Ia tertegun diantara anak-anak kecil yang bermain-main di sekelilingnya. Tertawa-tawa seolah mengejek pikiran naif yang menjadi satu-satunya bekal kepulangannya.

Berusaha tersenyum, Namjoon mengusap kepala seorang bocah laki-laki yang menatapnya bingung kemudian melanjutkan langkah kakinya perlahan.


"Kim Namjoon?"

Sekilas alisnya terangkat kaget. Ia mendorong kacamatanya yang melorot dan membungkuk sopan pada seorang dokter senior di hadapannya.

"Kim Namgil" Beliau mengulurkan jabat tangan yang langsung dibalasnya erat.

"Maaf Saya terlambat, ada pasien yang mendadak harus Saya tangani" Pria itu tersenyum tipis.

"T-tidak....Saya agak kepagian, Dokter Kim..." Namjoon mengusap tengkuknya.

"Anda sedang melihat-lihat pusat perawatan anak?" Dokter senior itu berjalan bersebelahan.

"Ah...tidak, Dok....kebetulan Saya masuk lewat sini"

"Lantai ini khusus klinik anak"
"Kita mulai dari lantai atas untuk mulai perkenalan masing-masing departemen rumah sakit ini okay..."

"Anda akan menjadi co-assistant Saya selama program ini berlangsung"

Namjoon mengangguk-angguk selama dokter senior itu berbicara panjang lebar tentang apa yang harus ia kerjakan, bagaimana waktu yang akan ia habiskan setiap harinya, juga satu persatu bagian pusat perawatan yang terdapat di setiap lantai.


Tibalah mereka di depan sebuah ruangan kosong berbatas kaca jendela besar yang memperlihatkan isinya.

Bangku-bangku yang melingkar tanpa meja di tengah, banner besar bertuliskan slogan yang terkesan menyemangati di setiap dindingnya juga beberapa flyer bertumpuk di atas sebuah meja di pojok ruangan.

Namjoon tersenyum sedih. "Kamu pernah ikut terapi kaya gini, Seokjin?"


"Ini ruang terapi bagi mereka yang telah bersih dari penggunaan obat-obat terlarang" Dokter senior itu berdiri di samping Namjoon.

"Oh....apakah pak direktur pernah bercerita tentang seorang di tim konsultan yang bekerja disini?" Tiba-tiba wajahnya berubah ceria.

Namjoon menoleh dan menggeleng pelan.

"Ah....Saya lupa namanya siapa. Laki-laki itu luar biasa"

"Ia tidak memiliki latar belakang spesial, namun aura positifnya mampu membuat para pasien merasa nyaman"

"Ia bersama dengan timnya"


"Laki-laki itu pernah mengalami trauma besar pada masa lalunya"



DEG



"Mungkin dengan berbekal itu ia mampu berbagi dan berempati sehingga membuat para pasien merasa aman dan lebih nyaman untuk terbuka"

"Mereka bilang sorot matanya yang teduh selalu mengalirkan kehangatan"

Keringat dingin mulai membasahi telapak tangan Namjoon. Jantungnya berdegup kencang bersama kedua bola mata yang sedari tadi membulat.

"Mungkinkah?"



"Oh? Maaf....Saya harus menerima ini..." Dokter senior itu berbalik menjauh saat ponselnya berdering.

Tak lama beliau kembali dengan tergesa.

"Namjoon, maaf Saya tidak bisa menemani Anda hingga selesai. Ada keadaan darurat dan Saya harus segera pulang"

Dokter senior itu pun meninggalkan sang pemuda.



Hening.

Hanya suara ketukan sepatu yang menyusuri lantai kayu di bawah kakinya.

Banner-banner berisi tulisan itu dibacanya satu persatu.

"Love Yourself..." Namjoon mendengus tersenyum kecil.




"Namjoon?!"

Suara yang telah lama tak ia dengar itu membuatnya sontak menoleh.

Kedua matanya membulat menatap pemuda yang juga melakukan hal yang sama.

My Happy PillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang