Disasters 2

43 23 0
                                    

Pusing tenggorokanku terasa kering dan agak sakit. Saat tersadar, aku sudah berada di bawah selimut ranjang kamarku sendiri. Kamar luas bernuansa serba putih.

Aku berusaha bangkit. Menggunakan kedua tanganku sebagai tumpuan sebelum susah payah mengangkat tubuhku agar bisa sekaligus bergerak mundur bersandar pada kepala ranjang.

Aku otomatis mengerang.

Tubuhku sedikit linu sesuatu yang selalu terjadi setiap kali aku sakit seperti ini.

Tapi posisi duduk membuat rasanya sedikit lebih baik.

Berbaring membuatku merasa seperti mengambang di atas air yang tidak tenang rasanya tidak enak sekali.

Dengan posisi seperti ini, aku bisa melihat sekitarku dengan lebih jelas. Melirik ke bawah, pakaianku sudah berganti piyama.

Hari juga sepertinya sudah berganti malam karena jendela di sisi kepala ranjang tidak lagi membiaskan cahaya dari luar.

Pukul berapa sekarang?

Mataku beralih mencari jam dinding. Dan saat itulah, aku melihat sebuah jaket yang bukan milikku namun amat familiar terlipat rapi di dudukan kursi beledu yang ada di kamarku. Jaket jins yang sedikit lusuh.

Aku menggigit bibir.

Menahan rengekan yang hampir saja keluar. Lagi, mataku berkaca-kaca dan pandanganku memburam karena itu.

Ah, mungkin karena tubuhku yang tidak sedang dalam keadaan baik, aku jadi emosional dan mudah menangis.

Tahu-tahu saja, aku sudah memaksa tubuhku bergerak lagi, turun dari tempat tidur, dan mengambil jaket itu.

Aku berakhir memakainya dan duduk sambil memeluk kedua lutut di kursi.

Menemukan jaket ini di kamar, berarti Ten lah yang mengantarku. Mungkin hanya sampai pintu depan karena tidak mungkin kepala pelayan membiarkannya masuk.

Itu memberi sedikit atau mungkin banyak rasa menyenangkan di dadaku.

Jaket Ten yang kebesaran menenggelamkan jari-jemariku.

Panjangnya mencapai pangkal pahaku, saat sesungguhnya jaket ini bahkan tak mencapai garis pinggang bila dikenakan oleh Ten.

Dengan mengenakan pakaiannya seperti ini, aku bisa dengan jelas menghirup aroma khas Ten.

Rasanya seperti dia benar-benar ada di sini.

Ternyata, setelah bersikeras menyatakan aku membencinya dan memutuskan mengakhiri hubungan, nyatanya aku masih terlalu menyukainya.

Apapun yang dilakukan Ten untukku, aku suka. Aku nyaman dan Aku ingin terus bersamanya.

Tetapi untuk saat ini, tidak ada yang lebih penting daripada patuh kepada ayahku.

***

Empat hari berlalu. Sakitku sembuh kemarin. Tiga hari tidak masuk sekolah, cukup untuk membuat Ayah semakin sering menceramahiku tentang betapa cerobohnya aku bisa sampai sakit begitu.

TenRun AreA! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang