Warna (2)

48 22 0
                                    

Empat hari kemudian...

" Ten Ada kiriman surat untukmu."

Hono menyelipkan amplop di sela jeruji
besi yang berkarat itu.

" Dari si Pelukis tersohor itu."

Lelaki itu tersenyum tipis, Yang sayangnya justru terlihat bagai seringaian licik penjahat.

Wah, amplop tipis tersebut beraroma harum.

Hono yang kebetulan menjadi sipir di penjara tersebut beringsut mundur. la tak peduli apa yang di tuliskannya.

Setidaknya, ada satu hal yang membuatnya
tersenyum di tengah rasa bosan sepanjang
tahun di balik ruang sempit ini.

Tentu saja, bukan apartemen kelas atas. Hanya penjara dengan kasur lembab nan tipis, jendela kecil dan kamar mandi yang tak kalah sempitnya.

Sebut saja, ruang isolasi.

" Hmmm... "

" Aku butuh banyak persiapan untuk menemuinya."

.

.

.

" Tempat itu adalah penjara bagi penjahat
kelas kakap seperti pembunuh dan gangster. Juga, pengedar narkoba. Kau yakin akan tetap datang?" tanya Risao tidak percaya.

Hikaru merasakan hal serupa, tapi dia
mengukuhkan keinginannya.

" Ada bagian dari diriku yang ingin memastikan. Aku tidak begitu mengenalnya."

" Lebih baik, kau batalkan saja niatmu." desis Risao, namun Hikaru menggeleng.

" Bisa jadi orang ini sudah menyesali perbuatannya. Kau tidak bisa menyimpulkan semudah itu."

" Baiklah, jaga dirimu."

Hikaru mengangguk, Tiga hari ke depan dia akan memastikan semuanya.

.

.

.

Ten turun dari sebuah mobil hitam dalam
keadaan dua tangannya yang di borgol. Seperti menghadiri prosesi pemakaman, dia memakai setelan hitam-hitam.

Hono dan rekan kerjanya, Takemoto juga sama.

Taman di sekeliling sangat sepi seolah di tinggalkan orang-orang.

Hono bertanya seraya melepas borgol di
pergelangan tangan Ten.

" Kau takkan kabur, kan?"

" Aku bahkan tidak pernah berpikir untuk melarikan diri. Bukankah aku pembunuh? Tapi.."

" Lakukan keinginan terakhirmu, Kami akan mengawasi dari sini." sahut Takemoto datar.

Ten segera melesat pergi, Tidak membiarkan setiap detik terbuang percuma.

Hikaru pasti menunggunya di sebuah gazebo kecil.

Rambut hitam yang terkuncir juga gaun pendek motif bunga mawar, gadis itu tengah duduk menunggunya dengan peralatan melukis yang lengkap.

Namun, cat yang di gunakan Hikaru kali ini hanya satu, yaitu warna hitam.

" Kau sudah datang rupanya."

Hikaru memasang senyum manis, dia menawarkan jabat tangan sebagai tanda perkenalan.

Mengejutkannya, Ten justru mengecup
punggung tangan gadis itu.

" Bisakah kita langsung mulai?"

" Tentu."

Hikaru mulai mengambil pensilnya.

" Temani aku mengobrol ya, Ten."

" Kau sangat cantik." sanjungnya.

Hikaru tersipu, mencoba fokus pada sketsanya.

" Yui yang membantuku berdandan."

Hikaru memiringkan kepalanya, tak
mengira kalau dirinya diminta melukis penjahat kota seperti ini.

Setelah sekian detik, kembali fokus pada kanvasnya.

" Jadi, kapan aku bisa mengirim lukisannya?
Siapa yang bisa ku hubungi?" tanyanya.

" Simpan untukmu sendiri." Ten menjawab
dengan tenang.

" Aku tidak punya siapa pun untuk menitipkan karyamu."

" Ngomong-ngomong, bagaimana rasanya hidup di penjara?"

" Menyedihkan." Ten menghela napas.

" Kuharap hanya di lukisan yang kau buat aku merasakan kebebasan."

Hikaru terdiam, Hanya ada goresan tinta
hitam yang membentuk sesosok lelaki misterius dengan tiga kartu remi bergambar ratu terselip di jemarinya.

Satu menit berlalu dengan keheningan.

Tetapi, dalam dirinya detak jantungnya lebih berisik dari biasanya.

" Selesai. Ingin melihat?"

Hikaru menaruh pensil yang tadinya terselip di daun telinga.

Ten menggeleng lalu memintanya duduk berdampingan. Dan, Hikaru tidak menolaknya.

" Kau punya kekasih?"

" Tidak."

" Kalau begitu, tak ada yang marah kan, jika
aku mencium mu?"

" Mungkin aku yang akan marah, Ciuman pertama harusnya istimewa, bukan?"

" Menurutku, kau istimewa Ciuman pertama."

" Pertama? Kukira kau pernah punya kekasih."

Ten menarik punggung Hikaru membungkam bibir sang gadis dengan bibirnya.

Tidak ada penolakan.

Tidak ada perlawanan, Mereka sangat
menikmatinya. Sayang sekali, kedatangan
Takemoto menghentikan mereka.

" Waktunya sudah habis."

Hikaru menghela napas, wajahnya yang
masih memerah itu memandang ke arah lain.

" Kau ingat peristiwa di mana kau di culik
setelah acara kelulusan mu?"

" Apa?" tanyanya bingung, tapi benar juga,

Ten mempertahankan senyumnya meski tangannya telah terkunci borgol.

" Aku yang membunuh mereka untukmu."

" Jadi..."

" Besok aku tidak akan bisa melihatmu lagi. Tenang, kau tak perlu datang jauh-jauh ke penjara."

Hikaru termenung.

Sebelum Takemoto menyeretnya pergi, Ten menoleh.

" Aku mengukir nama mu di lengan ku, Hikaru."

" Aku akan selalu mengingatmu." ucapnya
sebelum benar-benar menghilang dari mata
Hikaru.

TenRun AreA! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang