Lembar-lembar pakaian tertabur acak beberapa ada yang terkoyak.
Ranjang berderit-derit seiring dengan selang-seling antara angkat dan empas.Lenguh, racau, dan desah mengudara, tidak jelas mana milik siapa karena satu sama lain telah menyatu, keharusan batas-batas yang semula ada.
Seolah tahu, lampu di nakas menyala malu-malu, tak ingin pendarnya mengganggu acara yang sedang bercumbu itu.
Tapi, tunjukkan apa?
Tiba puncak di susul gelombang-gelombang dan pekikan nama satu sama lain, segala-segala jadi putih.
Dua-duanya terempas.
Sejenak, rengkuhan mereka lepas, lalu saling rengkuh lagi saat engah napas mulai jinak.
Hikaru memeluk Ten yang masih kepayahan melawan kebas di tubuh bawahnya.
Selimut di tarik tinggi-tinggi, sisa malam akan tetap terasa dingin meski keduanya habis terbakar api.
Hikaru menangkup wajah Ten, jemarinya telaten menyibak anak rambut yang lepek kena keringat.
Satu kecupan mendarat di bibir Ten, menghembuskan napas keduanya untuk kali kesekian.
"Aku mencintaimu, Ten."
" Aku tahu."
Mereka diam, tautan raga perlahan lepas Perasaan penuh mulai surut, tersengat menyelipkan dada masing-masing.
Satu sama lain menjadi asing.
" Bangunkan aku jam enam." Ten berkata lirih, lalu mengganti posisi tidur agar tidak menghadap Hikaru.
Hikaru merengkuh pinggang Ten dari belakang, kemudian di ucapkannya dengan penuh sayang. "Night, Ten." Lampu di nakas padam, gelap jadi selimut lapis kedua bagi pasangan itu.
...
Perasaan kosong dan asing masih terasa saat mereka sarapan berdua.
Sepasang itu bercakap secukupnya, cukup tanya jawab soal takaran sereal misalnya.
Hening di meja makan hanya terpecah sekali dua oleh denting sendok atau kriak-kriuk kunyahan.
Ten selesai makan pertama. Setelah membereskan peralatan makannya, ia meraih jaket yang tersampir di kursi.
" Makasih, Run. Aku pulang ya? "
Hikaru menyusul Ten ke pintu depan mengabaikan serealnya yang masih setengah sisa mangkuk.
" Kamu." suara Hikaru tercekat.
" Nggak apa-apa? "
" Jujur, enggak."
Ten menggigit bibir bawahnya mengumpulkan keberanian untuk mengatakan sesuatu.
" Aku gak bisa lanjutin."
" Ketahuan? "
" Nggak, maksudku, aku nggak tahu. Tapi, ini sudah terlalu jauh." Ten menghela napas.
" Dan salah."
Hikaru mengangkat alisnya.
" Katamu dia yang mulai dulu kan? Main belakang?"
" Kami bicara soal itu kemarin. Dia ngaku sudah berhenti, terus mulai ngoceh soal komitmen. Kupikir dia benar, masalah komitmen itu."
" Kalian sudah tidak saling cinta, kan?" tanya Hikaru hati-hati.
" Benar."
" Kok gak pisah? "
" Tidak bisa, bakal sulit ke depannya." Ten menghela nafas.
" Aku juga cinta kamu Run. Tapi, aku nggak mungkin pisah sama Karin padahal kami sudah nggak saling cinta."
Hikaru mematung. Hatinya seperti telur di ujung tanduk yang sebentar lagi terjun bebas, lalu remuk.
" Kita masih bisa kan? Diam-diam?"
" Nggak. Aku menghargai keputusannya dan kami sudah sepakat buat gak main belakang."
" Bukannya kamu dulu mau balas dendam? Misimu itu?"
" Lupakan saja, itu kekanak-kanakan." Ten memakai jaketnya, bersiap meninggalkan rumah Hikaru.
" Kita masih bisa jadi teman, kalau kamu mau. Soal cinta itu, biarkan dia mengkristal."
Pengungkapan membiarkan dia mengkristal yang di kutip Ten dari sebuah novel secara absurd membuat keduanya tertawa lepas, seolah percakapan yang terjadi tidak lebih berarti daripada bahasan tentang cuaca nanti sore.
" Supernova seri satu, kamu masih ingat ceritanya kan? Rana sama Re kayak kita."
Hikaru mengangguk tersenyum tipis terukir di bibirnya. Meski hatinya patah, ia berusaha melepas Ten dengan ikhlas.
" Hati-hati di jalan!"
Di ubah versi author ya kalau dalam novel nya. 🙏
