Hikaru tetaplah Hikaru, yang lebih menyukai pojok perpustakaan daripada kantin, yang lebih menyukai trigonometri daripada komik remaja, yang lebih suka di abaikan daripada menjadi pusat perhatian.
Setelah ia terluka saat itu, Hikaru langsung pergi tanpa mengucapkan apa pun pada Ten.
Meninggalkan dengan tanda tanya besar di kepala.
Hikaru tahu dia egois, tapi dia bukan masokis.
Hikaru tetaplah Hikaru, yang lebih suka menghindari bahaya daripada menghadapi dan ikut lebur bersamanya.
Ten tak pernah terlihat lagi di lingkungan kelas Hikaru.
Hikaru pernah melihatnya sekali-dua kali, itu pun dalam jarak yang jauh.
Tak apa, Hikaru tidak keberatan.
Menjadi pengagum tidak terlalu buruk.
Hikaru jadi tetap bisa menyukai Ten tanpa harus keluar dari sarangnya.
Ten itu humoris, dan baik hati.
Sebagian besar orang ingin menjadi temannya, sebagian kecil terlalu segan untuk memusuhinya.
Ten merupakan personifikasi dari kebahagiaan. Ia punya banyak orang yang berada di sekitarnya.
Dan Hikaru hanya bisa melihat itu semua dalam diam.
Ten itu tipe orang yang senang bila melihat orang lain senang. Hobinya adalah bermain permainan apa pun yang beramai-ramai dan penuh tawa.
Cita-citanya sederhana, ia ingin menjadi orang biasa yang mampu melihat orang lain bahagia.
Hikaru mati-matian menahan tangisnya saat membaca itu semua.
Terakhir, setelah pengamatan yang dilakukan Hikaru cukup lama, Ten ternyata tidak punya pengalaman dalam hubungan asmara.
Sekitar tiga gadis sudah yang Hikaru dapati mengungkapkan rasa sukanya pada Ten, tapi dia selalu menolaknya dengan alasan 'aku sudah menyukai orang lain', yang membuat dada Hikaru begitu sesak.
" Halo, Ten! "
" Oh, Run! Rasanya sudah lama kita tidak bertemu, ya!"
Bila dulu Hikaru selalu menunduk, kali ini ia beranikan dirinya untuk menatap Ten.
Dari balik lensa, ia dapat melihat dengan jelas bagaimana mata Ten bersinar penuh harapan, dan dorongan yang seolah tak pernah lelah untuk tersenyum.
" Aku ingin bicara. Ten ada waktu?"
" Ada, ayo ke taman belakang."
Ten tidak pernah bertemu tentang pertemuan terakhir mereka.
Ten menghargai privasi Hikaru, dan tidak pernah menyalahkan orang lain walaupun mungkin dia sendiri merasa privasinya.
Ten begitu baik, rasanya Hikaru ingin menjadi egois sebentar saja untuk memilikinya.
" Ada apa, Run? "
Taman yang sama tempat Hikaru membuat sketsa bunga aster yang kini terpajang apik di meja kamarnya, sebagai salah satu kepingan memori manis bersama Ten.
Hikaru meremas bajunya, gugup luar biasa. Ia telah mempersiapkan hari ini dengan matang, penuh keberanian.
Hikaru tidak boleh ragu sekarang. Ia harus menyelesaikan apa yang sudah ia mulai.
" Sebelumnya… maafkan aku karena telah lancang."
" Tapi Kau tidak berbuat salah padaku."
Hikaru tersenyum di buatnya.
Ah sudah kuduga.
Aku benar-benar menyukaimu, Ten.
" Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi mungkin Ten tidak akan suka. Jadi, aku ingin egois sebentar. Tolong jangan benci aku, ya."
" Kau ini bicara apa, sih? Katakan saja, Mana mungkin aku membenci orang sepertimu."
" Benar tidak akan merasa marah? Atau jijik?"
" Aku belum mendengar apa pun. Jangan mengira itu tidak."
Hikaru menjadi lega. Ia mengumpulkan tekad, ia jalin semangat.
Walau titik udara mulai tertimbun di sudut matanya.
Walau cekat merajai tenggorokannya.
Walau sesak menghimpit dada.
" Aku suka Ten. Lebih dari sekedar teman."
Hikaru melihat Ten terkejut. Lama, dalam ekspresi seolah Hikaru telah mengakui sebuah kesalahan besar.
Air di pelupuk matanya semakin banyak, dan akhirnya menetes tanpa bisa ia hentikan.
" Aku tahu, aku tahu—"
" Maaf, Run... aku tidak mau membuatmu marah. Tapi..."
" Aku sudah tahu, Ten. Aku tahu."
" Tapi aku sudah menyukai orang lain..."
" Aku tahu."
Bahwa di tengah keramaian orang yang mengitari Ten, mata itu selalu melihat ke titik yang sama.
Ke pusat gravitasi yang memenangkan hatinya.
Orang yang disukai Ten, yang mungkin tidak menyadari perasaan Ten padanya.
Dan orang itu bukan Hikaru.
" Sekali lagi maaf, maafkan aku."
Ten membungkuk sekali, sebelum meninggalkan Hikaru yang terjatuh terduduk dengan lelehan air mata yang menetes seperti hujan.
Sakit, sakit sekali.
" Aku tahu, Ten..."
Mungkin cinta yang terlambat disadari atau cinta yang tidak diungkapkan itu di serap, tapi yang jauh lebih menyakitkan adalah pernyataan cinta yang telah kau tahu bahwa jawabannya adalah 'tidak'.
“ Aku sudah tahu…”
