Belum cukup dengan wajahnya yang selalu kulihat tiap hari, entah mengapa sudah satu minggu ini ia menghampiriku dengan cara yang lain seperti mimpi.
Maksudku, hello? Apakah dunia ini menjadi terlalu sempit atau otakku yang sudah mulai tak waras hingga mengalami serious problem about this pink romance?
Mendengar kata pink saja sudah membuatku ingin muntah atau setidaknya secara harfiah memang seperti itu adanya.
Ini gila, dan mungkin akan semakin banyak orang gila sepertiku jika virus aneh ini semakin menyebar. Sebuah mimpi, apakah realitas kehidupan menjadi semakin sempit dan probabilitas distorsi dimensi semakin besar?
" Permisi.. "
Hampir saja aku tersandung trotoar mendengar sebuah panggilan asing di telingaku.
Bukan, panggilan itu tak seasing wajahnya.
Ini dia sumber masalahku selama seminggu ini, murid pindahan di kelasku sejak satu bulan yang lalu.
Wajahnya lucu saat tertawa seperti itu dan sepertinya aku salah fokus.
" Apa kau selalu berangkat sepagi ini? "
Kesadaran memukulku perlahan, membuatku kembali dengan terpaksa menolehkan kepala pada sang pemilik suara.
Aku tahu kami teman sekelas, aku juga tahu mungkin ia hanya ingin bersikap baik dan mencari teman baru. Namun sebenarnya ia yang tak tahu apa-apa tentangku.
My heart beating faster dan rasa ini sedikit menyiksaku.
Tuhan, selamatkanlah anak polos ini dari segala bentuk romansa dunia.
" A-ah? Ya, sepertinya. "
Tak pernah kuketahui apa itu arti gugup. Tak pernah juga aku akan menyangka bahwa perasaan ini akan menjadi sedikit menyiksa.
Mengapa temanku selalu berkata jatuh cinta itu menyenangkan padahal rasanya sangat tak nyaman seperti ini?
Hey, just―wait! Jangan bilang jika aku sedang jatuh cinta.
Memang, untuk membuat fakta berbanding terbalik dengan kewarasan, seseorang harus mampu memilah dengan benar mana khayalan dan mana perasaan nyata.
Mimpi-mimpi kemarin mungkin hanyalah bentukan otakku yang menangkap terlalu sempurna bayang wajahnya dengan lensa tak kasat mata.
Tapi, sungguh jika melihatnya dari jarak sedekat ini, you can’t deny this feeling.
" Apa aku membuatmu tak nyaman? Kalau begitu aku jalan duluan-"
" M-maaf. "
Benar, pada kenyataannya fakta selalu berbanding terbalik dengan kewarasan saat seseorang mengalami masalah kronis merah muda ini.
Sungguh bukan inginku untuk refleks menggenggam tangannya dan membuat semacam eye–contact seperti ini.
Yeah, we’re making an eye–contact now.
She is asking me many things but I feel like it’s nothing to burden me. I’m just being too nervous now, can’t control my mind which is involving my heart to choose the best one; say hi to the sunshine or keep quiet like the moonlight.
Yang mana pada intinya, sesuatu membuatku tertarik untuk memilih opsi pertama, tersenyum pada sinar mentari dan mengatakan sesuatu seperti ‘hai’ atau hal lain sejenisnya.
" Ah, maaf. "
Aku melepaskan tangannya, memalingkan wajah namun senyum yang menjadi objek pelampiasan selanjutnya.
Since it just me who acted like everything’s gonna be fine. You came to my dream and faced me with that cute smile. So, don’t blame me if I can’t control my feeling for you then.