Chapter 186. Guru Tamu

27 1 0
                                    

"Bertukar!" Alanis berseru saat tinjuku yang dipenuhi angin hampir mengenai dada Camus.

Aku menggumamkan serangkaian umpatan, menghentikan seranganku. 'Bagaimana bisa selama beberapa hari terakhir ini, pertandingan sepertinya selalu berhenti di waktu yang tidak tepat? Dia pasti sengaja melakukan ini.'

Seolah menjawab tuduhan ku, pelatih itu mengklarifikasi dengan mengatakan, "Tepat dua puluh menit telah berlalu. Tetua Camus akan ditukar dengan Tetua Hester. Jenderal Arthur, tolong batasi sihir airmu."

Aku menyeka keringat yang mengucur di wajahku, mencoba mengambil nafas sampai lawan berikutnya tiba. Dilarangnya sihir airku berarti aku juga tidak bisa menggunakan es. Sungguh membuat frustasi Hester, yang pasti akan mengalami kesulitan saat menghadapi dua elemen itu.

Mengintip ke arah penonton, aku tahu semua orang memperhatikan pertarungan terakhirku melawan Camus, terutama adikku yang sangat asyik.

Tetua mendekati ku sampai jarak kami hanya sekitar belasan meter. Mengikat rambut panjangnya yang beruban ke belakang menjadi sanggul, ia bersiap dalam posisi duel. Menjadi penyihir berinti perak berarti, sementara kekuatannya menyihir, dia bisa dengan mudah memperkuat tubuhnya. Fakta bahwa ia mengenakan pakaian ketat dan memilih untuk menggunakan cincin sihir daripada menggunakan tongkat atau tongkat tradisional berarti ia menginginkan fleksibilitas dari pertarungan jarak jauh dan jarak dekat.

"Mulai," kata Alanis, suaranya diperkuat oleh artefak yang dia gunakan.

Hester segera menjentikkan jarinya, percikan api menyala di antara jari tengah dan ibu jarinya.

Bara api biru itu hanyalah sebuah pengalih perhatian.

Karena aku tidak menggunakan Realmheart, mataku tidak bisa melihat fluktuasi 'Mana', tapi aku bisa merasakannya. Tubuhku, yang ditingkatkan melalui asimilasi dengan 'kehendak' naga Sylvia, sepertinya secara naluriah merasakan bahwa aku dalam bahaya.

Aku dengan cepat mendorong diriku ke belakang, tepat pada waktunya untuk melihat semburan api meledak di tempat aku berdiri.

Ledakan itu menimbulkan kepulan asap, menghalangi pandangan ku ke arah Hester.

'Dia tidak menyangka akan memukul ku dengan itu. Dia ingin aku tidak bisa melihatnya.'

Aku mengayunkan tangan, memanipulasi awan debu di antara kami untuk melesat ke depan. Batu dan pasir di udara membeku sejenak sebelum melesat ke depan menjadi gelombang puing-puing.

Seperti yang sudah ku duga, wujud Hester mulai terlihat. Dia berhasil melindungi dirinya dengan panel api. Sekarang giliran ku untuk menyerang balik.

Menambah 'Mana' di kaki, aku melesat ke depan, mengumpulkan api biru ke dalam tinjuku.

Aku menyerang panel api, berharap apiku bisa mengalahkan miliknya. Mantranya hancur, tapi yang mengejutkanku, Hester tidak lagi berada di balik panel api yang dia sulap.

Saat itulah aku merasakannya lagi, naluri dasar yang memberi tahu bahwa aku dalam bahaya. Kali ini, itu datang dari bawah kaki ku.

Api biru berputar-putar di bawah ku sebelum meletus menjadi pilar api. Untuk sesaat, pandangan ku berubah menjadi biru saat panas yang hebat menyapu ku.

Aura ku memblokir serangan itu cukup lama sehingga aku dapat memanipulasi api agar tidak melukai ku. Jika aku menerima terlalu banyak kerusakan, artefak pertahanan di armor-ku akan aktif, dan itu akan merugikanku.

Tepat ketika panasnya menjadi tak tertahankan, aku mampu menghalau serangan Hester dan mematahkan pilar api... hanya untuk mendapati diriku dikelilingi oleh selusin bola api, masing-masing setinggi orang dewasa.

The Beginning After the EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang