"Menangis tidak akan berhasil! Bukankah seharusnya kau sudah terbiasa dengan air sekarang, Sylv?"
"Kyuuuuu..." Sylvie akhirnya melepaskan diri dari genggaman ku dan bergegas keluar dari kamar mandi, masih dengan air mata yang menetes.
"Haa..." Aku menggelengkan kepala saat selesai mandi.
Dengan hanya mengenakan kaos dan celana sederhana, aku melihat untuk terakhir kalinya kamar yang telah kutinggali selama beberapa bulan terakhir, membekas dalam ingatanku. Aku mengenakan sarung tangan dan cincin, mengemas mantel dan topeng serta beberapa kebutuhan lainnya ke dalam tas. Aku mengikatkan Balada Fajar dan pedang pendekku di pinggang sebelum berjalan keluar.
"Percayalah pada Jasmine saat keadaan menjadi sulit. Dia mungkin yang termuda, tapi jangan ragukan kekuatan dan pengalamannya sebagai seorang petualang," nasihat ayahku sambil menarikku untuk berpelukan erat.
"Mengapa Kakak dan Sylvie pergi? Tidak! Tinggallah di sini!" Adikku sekarang tersadar bahwa aku tidak akan berada di rumah untuk sementara waktu. Dia mencengkeram pinggangku dan menolak untuk melepaskannya saat dia menggunakan berat tubuhnya untuk menahanku.
"Sayang, kakakmu akan kembali, oke?" Ibu berusaha menghiburnya.
"Tidak... Tidak! Tetap di sini!" Adikku menuntut. Dia menolak untuk mendengarkan alasan dan mulai berteriak dengan mata berkaca-kaca.
Berlutut, aku memeluk Ellie sambil menepuk-nepuk punggungnya. "Aku tahu kau sudah besar sekarang. Bisakah kau melindungi Ibu dan Ayah sementara aku pergi sebentar, Ellie?"
"UUuuu... hic... aku bisa melindungi mereka..." jawabnya dengan suara lirih, membenamkan kepalanya ke bahuku.
Melepaskannya, aku mengamati wajah adik ku, menyeka air mata yang mengalir di pipinya.
"Gadis kecil. Kakak akan pergi sebentar, tapi aku akan kembali. Aku merasa jauh lebih baik karena kita memiliki seseorang yang kuat seperti adik ku di sini untuk melindungi rumah ini."
"Ya!" ia menyahut dengan penuh semangat, matanya dipenuhi dengan tekad yang baru.
Sambil menepuk-nepuk kepalanya, aku memberikan pelukan terakhir kepada Ibu dan Ayah.
"Kami akan merindukan kalian. Jangan lupa untuk menyimpan cincin itu di jarimu, ya?" Ibu memeluk ku dengan erat.
"Tetaplah berhati-hati dan ketahui batasanmu, Arthur." Ayah meletakkan tangannya di pundakku dan menatapku, menunggu jawaban.
Ketahuilah batas-batasku, aku mengulangi pada diri sendiri, memberikan anggukan tegas pada ayah.
Setelah perpisahan itu selesai, aku berjalan menuruni tangga depan menuju tempat Jasmine menunggu.
Aku melambaikan tangan untuk perpisahan terakhir, memberi isyarat kepada adik ku, yang melambaikan kedua tangannya sambil menggigit bibirnya agar tidak menangis, untuk menghiburnya.
"Ayo, Jasmine," kata ku sambil mengenakan topeng dan mantel.
Dia menjawab dengan anggukan singkat saat kami mulai menuju pusat kota menuju Aula Guild Petualang.
____________________________________________________
Aula Guild tidak seperti yang ku bayangkan. Bayangan tentang sebuah tempat yang penuh dengan preman yang duduk mengelilingi meja kayu sambil menenggak bir adalah apa yang ku pikirkan. Sebaliknya, ini adalah sebuah bangunan yang penuh dengan gengsi dan kemewahan. Sebuah bangunan marmer menjulang tinggi di atas kami seperti sebuah museum yang sakral. Begitu masuk ke dalam, terlihat jelas jumlah pekerjaan yang telah dilakukan untuk mendesain interior yang rumit. Ada meja-meja yang terbuat dari logam di mana aku bisa melihat para petualang lain yang melirik kami. Seluruh tempat ini memiliki suasana kemewahan yang tidak cocok untuk ku, apalagi beberapa petualang yang tampak barbar di sini, tetapi aku hanya melanjutkan langkah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Beginning After the End
FantasyKing Grey memiliki kekuatan, kekayaan, dan pamor yang tak tertandingi di dunia yang dikuasai oleh kemampuan bela diri. Namun, kesepian berada di belakang mereka yang memiliki kekuatan besar. Di bawah eksterior glamor dari seorang raja yang kuat, ber...