*Chapter ini didedikasikan kepada 80 orang pertama yang telah meluangkan waktu satu detik untuk vote di part sebelumnya.
.
.
.
"Kau tidak tidur?"
"Huh? Sebentar lagi," jawab Zayyan. "Eum, siapa saja yang masih di sofa?"
"Tidak ada. Hanya kau dan aku sekarang."
"Benarkah?" Zayyan pikir masih ada beberapa orang lagi. "Eum Wain, kau bisa tidur duluan. Aku masih ingin di sini."
Tanpa mengatakan apa-apa, Wain berbalik dan berjalan menjauh.
Sesaat kemudian, Zayyan melongok ke arah Wain tadi dan berkata, "Wain! To-tolong matikan lampunya jika kau pergi."
Tak butuh waktu lama, lampu pun padam. Menandakan hanya ada dirinya yang tersisa.
Zayyan menghela napas panjang lalu berjalan menuju kulkas. Mengambil sebuah apel merah, memotong-motongnya dan membawanya ke meja beserta sepasang sumpit.
Sama seperti malam sebelumnya, Zayyan belajar menggunakan sumpit. Hanya saja kali ini tidak sambil menonton video tutorial lagi. Begitu pula Wain yang kini menonton aksi Zayyan dengan berdiri bersandar pada tembok yang minim pencahayaan, hingga tak disadari Zayyan. Ternyata pemuda itu belum kembali ke kamarnya.
Setelah dua kali berhasil dengan susah payah, Zayyan berhenti. Membuat Wain yang menonton mengerutkan dahi.
'Dia berhasil lebih cepat dibanding pertama kali. Namun, kenapa tak terlihat senang?'
Masih melekat dalam ingatan Wain saat Zayyan begitu gembira kala berhasil untuk pertama kalinya. Jadi, respon Zayyan kali ini membuatnya tak mengerti.
Dengan sepasang sumpit yang masih berada di antara jemarinya, Zayyan duduk bersandar dengan tatapan kosong. Sampai akhirnya matanya berkaca-kaca. Sebelum kristal cair itu semakin banyak menggenang dan menetes, Zayyan segera menengadahkan kepalanya. Satu tangan lainnya bergerak mengipasi wajah seolah kepanasan.
Berhasil menggagalkan air mata yang akan mengalir, Zayyan merasa senang. Di bibirnya terukir senyum pedih. "Aku tidak boleh menangis lagi."
"Sudah dua kali aku menangis dan kurasa tadi Sing menyadarinya saat memelukku, meski dia tidak bertanya. Ugh! Itu memalukan."
Menghela napas panjang dan menenangkan diri sejenak, Zayyan meraih gelas berisi air di dekatnya lalu meminumnya beberapa teguk. Kemudian kembali berlatih menggunakan sumpit.
Di sisi lain, Wain yang di kegelapan menyaksikan tingkah Zayyan dan mendengar perkataannya, teringat akan kejadian saat dirinya memergoki Zayyan menangis diam-diam di toilet perusahaan.
'Jadi yang kulihat itu adalah yang pertama dia menangis, dan kedua ketika Sing memeluknya?'
Setelah lebih dari satu jam, Zayyan menyelesaikan hampir setengah jumlah potongan buah apel. Ia berhenti menggunakan sumpit lalu melanjutkannya dengan tangan. Karena sudah tak tahan dengan rasa lelah dan kantuk yang datang.
Menyadari Zayyan yang sudah selesai berlatih meskipun kemampuannya masih sangat buruk di matanya, Wain segera pergi. Tentu saja menuju kamarnya dan Davin di lantai dua.
.
.
.
.
.
Di kamar, Sing terbangun dari tidurnya. Masih dengan mata yang enggan terbuka ia menggerutu, "Aish, harusnya tadi aku buang air kecil dulu sebelum tidur."
Mau tak mau, ia bangun. Melihat sisi tempat tidur Zayyan kosong, wajah lesunya itu bingung. "Di mana Zayyan?"
"Ck." Sing berdecak merasakan panggilan alam yang semakin mendesak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Go || Xodiac
РазноеKisah tentang sembilan pemuda dalam menggapai mimpi mereka bersama. Akankah semuanya berjalan mulus tanpa hambatan? Atau justru banyak rintangan yang menghadang?
