*Chapter ini full Zayyan X Wain family. Next part juga masih mereka entah full/gak, karena sebenarnya chapter ini belum lengkap. Kalau lengkap, 2/3 hari lagi baru bisa up. Kronologinya ada di kolom komentar part sebelumnya bersama vanillacreamylatte
* * *
Wain dan Zayyan berada di dalam bus yang melaju meninggalkan kota Seoul. Deru mesin berpadu dengan suara roda yang bergesekan dengan permukaan aspal. Di barisan kursi sisi kiri, keduanya duduk berdampingan dengan Zayyan di dekat jendela. Ia menatap ke luar. Melihat bangunan-bangunan dan orang-orang yang seolah bergerak mundur.
Zayyan menggigit bibir pelan. Setiap kali bus berbelok, lututnya menyentuh lutut Wain di sampingnya, dan setiap kali itu terjadi, Zayyan buru-buru menggeser kaki sambil berdehem pelan. Berusaha bersikap sesantai dan sealami mungkin.
"Gugup?" Suara bariton Wain terdengar pelan tapi jelas.
Zayyan menoleh cepat, matanya membulat. "Huhh? Ti-tidak. Aku hanya-"
"Gugup," potong Wain sedikit lembut dan tetap tenang, hingga seperti menyatakan fakta, bukan menuduh.
Zayyan menunduk malu, ujung telinganya memerah. "Mungkin sedikit," ucapnya pelan.
"Aku takut tak bisa mengobrol secara lancar dengan keluargamu. Seringkali aku juga bingung saat ditanya-tanya," sambung Zayyan.
Wain melihat Zayyan sejenak, lalu bersandar ke kursi. "Kau tak perlu berpikir terlalu banyak. Ibuku orang yang lembut, kau pernah bertemu dengannya. Dan ayahku memang pendiam. Namun kakak perempuanku tidak. Jadi, kau tak akan sendirian."
Zayyan menoleh cepat. "Kau punya kakak perempuan?"
"Hm. Dia agak menyebalkan."
Zayyan tersenyum geli. "Benarkah?"
Wain mengangguk kecil.
"Kau bilang ayahmu pendiam." Zayyan tersenyum kecil. "Kurasa itu menurun padamu."
Wain menoleh singkat dengan senyum tipis di bibir. "Mungkin. Aku hanya lebih sering berpikir sebelum bicara."
Zayyan terkekeh kecil, suaranya terdengar lega. "Iya, itu benar. Kadang aku iri dengan caramu bicara. Tenang, tapi dalam. Semua yang kau katakan terasa bermakna."
"Tenang bukan berarti tidak gugup," ucap Wain datar. Namun sorot matanya sedikit melembut. "Aku juga gugup."
Zayyan spontan menoleh. "Kau merasa gugup? Kapan? Kenapa?"
"Saat ini," jawab Wain membuat Zayyan tertegun. "Karena sekarang aku mengajak seseorang pulang ke rumah setelah begitu lama tak melakukannya."
Jawaban itu sederhana dan penuh kejujuran, tapi berhasil membuat jantung Zayyan berdegup lebih cepat.
"Se-serius?"
"Hm," gumam Wain. "Terakhir kali aku mengajak Leo saat Sing kembali ke Hongkong. Itu sudah berbulan-bulan lalu. Dan ..."
"Dan?" Zayyan penasaran dengan kelanjutannya.
"Dan sekarang aku mengajakmu, karena aku ingin mencoba lebih dekat denganmu."
Hening sejenak. Bus bergetar pelan saat melintasi jalan yang kurang rata, tapi bagi Zayyan, dunia terasa berhenti. Ia menelan liur dan suaranya pelan saat berkata, "Aku ... senang mendengarnya. Aku juga ingin kau tidak banyak diam saat kita berkumpul. Rasanya kau selalu berpikir dan sejujurnya itu membuatku segan."
Wain tersenyum samar. "Mungkin karena aku belum tahu caranya berbicara denganmu sebanyak yang ingin aku lakukan."
Zayyan menatap Wain agak lama, lalu tersenyum. Ia merasa kalimat-kalimat Wain seolah mengikis jarak tak kasat mata di antara mereka. "Ba-bagaimana kau bisa merangkai kata seperti itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Go || Xodiac
RandomKisah tentang sembilan pemuda dalam menggapai mimpi mereka bersama. Akankah semuanya berjalan mulus tanpa hambatan? Atau justru banyak rintangan yang menghadang?
