Kisah tentang sembilan pemuda dalam menggapai mimpi mereka bersama.
Akankah semuanya berjalan mulus tanpa hambatan? Atau justru banyak rintangan yang menghadang?
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Berdasarkan polling kemarin yg hasilnya 96% 'Mau' dari total 90 tanggapan, maka ini jadinya. Happy reading!
* * *
Setelah makan malam bersama lalu duduk santai dan membicarakan banyak hal seperti mimpi Sujin, makanan favorit nyonya Park, juga kebiasaan kecil Sangwon, hingga Zayyan yang menyampaikan salam dari Leo untuk Haemi, Wain kemudian mengajak Zayyan pergi keluar.
Embusan angin malam terasa dingin. Lampu jalan di area perumahan itu cukup terang, menyinari trotoar yang rapi, bersih, dan menampilkan bayangan panjang keduanya.
Zayyan merapatkan cardigan rajutnya. "Udara di sini sejuk sekali."
"Ya, dan sekarang musim gugur, jadi lebih dingin." Sambil menyampirkan ujung syal ke bahu, Wain lanjut berkata, "Malam seperti ini biasanya aku berjalan sebentar untuk menenangkan pikiran."
Mereka berjalan berdampingan, langkahnya pelan dan ringan. Tidak terburu-buru. Pun, tanpa kata-kata berlebihan. Meskipun Zayyan tampak agak gugup. Ia bahkan sesekali mencuri pandang ke arah Wain, lalu menunduk cepat.
Setelah beberapa langkah, Wain menoleh dan itu bertepatan dengan Zayyan yang sedang menatapnya. Ia bertanya pelan, "Kau baik-baik saja?"
Zayyan tersentak kecil lalu mengangguk cepat dengan wajah agak bersemu. Merasa dipergoki. "Iya. Maaf kalau aku terlihat eumm ... canggung."
Wain masih tampak tenang seperti biasa. "Tidak apa-apa, kau memang begitu."
Zayyan diam sejenak. "Ehh, 'memang begitu' apa maksudmu?"
"Canggung," jawab Wain datar. Ia lalu menambahkan, "Tapi menyenangkan."
Zayyan hampir tersandung kakinya sendiri. "Me-menyenangkan?"
"Ya."
Zayyan menunduk. "Wain, kau bicara begitu dengan mudah sekali."
Wain menoleh sekilas. "Karena itu benar," ucapnya tanpa ekspresi berlebihan.
Rumah-rumah di sekitar berbaris rapi. Beberapa jendela menyala, dan beberapa sudah gelap. Kemudian dari salah satu rumah terdengar suara anjing menggonggong, lalu hening lagi.
Wain menoleh. "Apa kau lelah?"
Zayyan menoleh dengan kepala mendongak menatap Wain. Ia menggeleng pelan dengan senyum manisnya. "Tidak. Aku justru senang. Sudah lama sekali aku tidak jalan santai di malam hari seperti ini."
Wain hanya mengangguk kecil, seolah menahan untuk ikut tersenyum. "Kalau begitu aku ingin mengajakmu ke suatu tempat."
"Tempat apa?"
"Tempat yang biasanya kudatangi bersama teman-temanku," jawab Wain. Nadanya sedikit menurun. Namun bukan sedih, melainkan seperti membuka halaman buku yang jarang disentuh.