"Maaf Pak Geovan, saya tidak perlu diantar ke rumah sakit. Jika tidak merepotkan, saya ingin pulang saja."
Lelaki yang sedang fokus menyetir itu melirik ke samping dimana seorang gadis yang sedari tadi duduk diam terus memegangi perutnya. "Tidak. Kita tetap ke rumah sakit," putusnya tanpa bisa ditawar lagi.
Kania meringis. "Masalahnya semalam saya juga baru dari rumah sakit, Pak. Dan obat-obatannya masih ada di rumah," tukas Kania.
"Apa benar begitu? Itu bukan alasan saja karena kamu yang tidak mau berobat, kan?"
"Saya berkata jujur, Pak. Kalau tidak percaya, Pak Geovan bisa mengecek label rumah sakit yang menempel di obat-obatan saya di rumah."
Geovan menghela napas pelan. "Baiklah. Masukkan GPS alamatmu," titah Geivan kepada Kania, yang langsung memasukkan alamat rumah kontrakannya ke dalam sistem navigasi mobil.
Tak ada yang bicara lagi sesudahnya. Keheningan itu membuat Kania yang menahan nyeri di perutnya pun seketika mengantuk. Namun sebagai orang yang diberi tumpangan, rasanya tak sopan jika ia malah tertidur. Maka gadis itu pun sekuat tenaga membuka matanya lebar-lebar agar tidak terlelap.
"Tidur saja kalau kamu mengantuk."
Kania terkesiap mendengar suara teguran tiba-tiba itu, hingga wajahnya pun sontak menoleh ke arah Geovan yang terlihat masih fokus pada jalanan.
"Masih dua puluh menitan lagi perjalanan ke tujuan. Kamu tidur saja."
"Mm... tapi Pak Geovan tidak apa-apa kalau saya tinggal tidur? Rasanya saya jadi tidak sopan."
"Tidak masalah, Kania. Kamu sedang sakit. Tidurlah."
Akhirnya Kania pun mengikuti saran dari Geovan dan memilih untuk mengistirahatkan sejenak pikirannya.
***
Kania baru saja memasuki pagar rumah kontrakannya, ketika tiga orang lelaki yang datang entah dari mana dan langsung menghadangnya.
"Apa benar Anda yang bernama Kania Alexandra?" Sentak salah seorang dari mereka.
Kania yang bingung dan ketakutan melihat ke arah mobil Geovan baru saja tadi menurunkannya, dan meringis dalam hati ketika mobil lelaki itu tidak terlihat lagi di sana.
"Y-yaa... saya Kania. Ada apa ya, Bapak-bapak mencari saya?" Kania gugup sekali karena situasi di sekitarnya yang sangat sepi karena hari yang memang sudah cukup larut. Jika ia berlari pun, pasti para lelaki entah siapa ini bisa langsung menyergapnya.
"Begini ya, Saudari Kania. Ayah kamu itu berhutang banyak pada Bos besar kami yang bernama Tuan Beno. Tapi ayah kamu menghilang begitu saja!" Ucap lelaki berkumis lebat itu.
"Ha? Hutang?? Maaf, tapi yang berhutang adalah Ayah saya, kenapa kalian malah datang ke tempat saya?" Ujar Kania.
"Itu karena Ayah kamu sudah menandatangani perjanjian, yang isinya apabila ia tidak sanggup membayar hutangnya dan atau menghilang, maka dia telah menjaminkan putrinya sebagai penebus hutang," ucap lelaki itu sembari menyeringai mengamati tubuh Kania dengan pandangan mesum.
Kania menahan nyeri yang semakin menjadi-jadi di dalam perutnya. Rasanya ia akan pingsan sedikit lagi, namun gadis itu menguatkan dirinya. "Tunggu. Apa maksudnya saya sebagai penebus hutang?"
Suara tawa mulai terdengar menguar dari mulut tiga orang lelaki itu.
"Itu artinya, kamu akan menjadi istri ke-lima Tuan Beno, bos kami. Sekarang ayo ikut dan jangan melawan kalau tidak ingin disakiti!"
"Eh, eh... apa-apaan ini? Bapak-bapak jangan main paksa dong! Saya nggak ada urusan sama Tuan Beno siapalah itu! Enak saja main klaim sepihak!" Kania yang tidak mau dibodohi begitu saja pun akhirnya memutuskan untuk mengambil ancang-ancang untuk melarikan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
DI ATAS RANJANG MR. CEO (21+)
RomanceAlih-alih mendapatkan pekerjaan sebagai sekretaris eksekutif CEO, gadis cantik berusia 24 tahun itu malah dijadikan sebagai sandera Jaxton Quinn, CEO Quinn Entertainment--sebuah perusahaan yang bergerak di bidang industri hiburan. Bagas yang merupak...