53. Tertangkap

274 8 0
                                    

"Pak? Ada apa?" Kania bertanya heran melihat wajah Geovan yang mendadak berubah setelah membaca pesan di ponselnya.

"Ada orang yang mencelakai Mr. Quinn," sahut Geovan dengan ketenangan yang patut diacungi jempol, meskipun sesungguhnya ia merasakan kekhawatira yang sangat besar. "Beliau ditusuk."

Kania membelalakkan mata terkejut mendengar penuturan Geovan. "Apa?? Lalu bagaimana kondisinya sekarang? Dan Audriana?? Apa dia baik-baik saja??" Tanya panik gadis itu yang bertubi-tubi, karena yang ia tahu sahabatnya itu sedang menghabiskan waktu bersama kekasihnya itu.

"Nona Audriana sepertinya baik-baik saja,tapi aku harus ke rumah sakit sekarang," sahut Geovan sembari menyimpan ponselnya di dalam saku. Satu tangannya terulur untuk menepuk lembut puncak kepala Kania.

"Kembalilah ke kamarmu dan jangan pernah keluar dari lingkungan hotel, mengerti?"

"Tapi... bagaimana dengan rapat hari ini, Pak?"

"Aku akan mengirimkan pesan ke semua peserta rapat kalau rapat sementara ditunda hingga besok. Ingat, Kania! Jangan pernah keluar dari area hotel ini!" Ucap Geovan dengan tatapan tajamnya yang terarah kepada Kania.

"Memangnya kenapa aku tidak boleh keluar?" Tanya Kania bingung. Padahal kan ini kesempatannya untuk jalan-jalan!

Geovan menarik napas pelan. "Karena perasaanku mengatakan kalau si pelaku penusukan itu bukanlah menargetkan Mr. Quinn sebagai tujuannya, melainkan Nona Audriana," cetus Geovan dengan wajah yang mengeras.

"Dan bisa jadi ia akan mengincar orang terdekat Nona Audriana, yaitu kamu." Geovan menatap Kania lekat-lekat, kali ini ia tidak menutupi rasa cemas yang terpancar jelas di dalam sorot matanya.

Kania mengedip dua kali, merasa tak yakin dengan apa yang dia lihat. "Apa Bapak mengkhawatirkan saya?" Tanya gadis itu memastikan.

GREPP!

Kania tersentak ketika Geovan tiba-tiba saja mencengkram kedua lengan atasnya. "Sangat, Kania. Aku sangat mencemaskanmu," sahut Geovan jujur. "Rasanya aku ingin menjaga dan melindungimu dengan tanganku sendiri. Tapi aku juga harus mengusut siapa dalang di balik semua ini."

Kania terpana melihat kesungguhan Geovan yang terlukis begitu nyata dari kalimat serta ekspresinya barusan. Rasanya seperti mimpi! Benarkah lelaki tampan ini mengkhawatirkannya??

"Aku harus pergi sekarang. Ingat pesanku tadi, oke?? Jangan pernah keluar dari lingkungan hotel ini apa pun yang terjadi!"

***

Audriana menangis tersedu dalam pelukan Jaxton. Ia sungguh bersyukur karena penusukan oleh orang tidak dikenal itu ternyata tidak meninggalkan luka yang dalam dan berakibat fatal.

"Sudahlah, Baby. Jika kamu terus menangis, kasihan anak kita. Dia akan ikut merasakan kesedihan Mommy-nya," bujuk Jaxton sambil memberikan kecupan yang menenangkan di kening wanita itu.

"Hikss... Ini tangisan lega, Jaxton. Bukan tangisan sedih," ralat Audriana. "Aku yakin anak kita di dalam sini juga merasa lega kok, karena Daddy-nya baik-baik saja... hikss..."

Jaxton pun akhirnya hanya bisa menggaruk kepala bingung. Ah, dasar wanita! Sedih, menangis. Bahagia, menangis. Apa-apa selalu menangis! Apalagi semenjak hamil, Audriana juga memang lebih emosional.

Ketika pintu kamar rawat VVIP itu terbuka, Jaxton pun segera mengalihkan tatapannya ke arah sana. Tampak Geovan memasuki ruangan itu dengan sedikit tergesa.

"Maaf saya mengganggu," ucapnya sopan seraya membungkuk hormat. "Pelakunya sudah ditemukan, Mr. Quinn. Selanjutnya tinggal menunggu perintah dari Anda."

Wajah Jaxton pun seketika berubah menjadi dingin mendengar kalimat Geovan. Ingin rasanya ia menemui dan menyiksa si brengsek yang sudah berani-beraninya mengganggu momen-momennya bersama Audriana!

Jaxton melirik Audriana yang masih bergelayut manja di dadanya seakan tidak mau berpisah sedetik pun. Sejujurnya ia salut juga dengan wanita ini karena cukup tabah menghadapi kejadian barusan yang cukup membuat shock, terutama bagi Audriana.

Karena tertarik dengan pertunjukan layang-layang yang beraneka warna dan bentuk di angkasa, Audriana mengajak Jaxton untuk melihat lebih dekat dan memasuki sebuah acara bazar dan festival layang-layang yang berada di lapangan luas di samping hotel.

Awalnya Jaxton tidak setuju untuk ke sana, karena selain cuaca yang semakin panas juga banyaknya orang yang berkumpul di sana. Terlalu ramai, dan terlalu riskan akan bahaya.

Namun karena tak tega melihat kekasihnya yang merengek, akhirnya Jaxton bersama tiga orang pengawal pun ikut menemani wanita itu.

Kejadiannya begitu cepat hingga rasanya ia masih tak percaya kalau benar-benar telah terjadi. Mereka sedang menunggu antrian untuk membeli es krim, ketika Jaxton tanpa sengaja melihat seseorang tak dikenal yang berjalan terburu-buru ke arah mereka.

Para pengawal yang curiga pun langsung memblokade akses jalan si orang tak dikenal tersebut. Mereka mengusirnya saat itu juga, namun siapa yang menyangka jika ternyata itu adalah pengalihan semata.

Jeritan Audriana yang tiba-tiba memanggil namanya, membuat perhatian Jaxton pun teralihkan seketika ke arah kekasihnya. Hanya beberapa detik, bahkan mungkin tak sampai tiga detik, yang Jaxton lihat saat itu adalah seseorang di depan Audriana yang mengacungkan sebilah pisau yang berkilau tertimpa teriknya matahari Bali.

Pisau yang hendak menghujam ke arah Audriana.

Yang ada di dalam pikiran Jaxton saat itu adalah bagaimana agar Audriana dan bayi yang dikandungnya selamat, maka lelaki itu pun menggunakan tubuhnya sebagai tameng bagi Audriana dan bermaksud menangkis serangan itu.

Namun sayangnya, Audriana yang tak sengaja terjatuh membuat kewaspadaan Jaxton menurun karena perhatiannya pun teralihkan kepada kekasihnya.

Posisi tubuh Jaxton yang terbuka membuatnya lengah dan mendapatkan tusukan yang seharusnya ditujukan untuk Audriana. Beruntung sekali ia sempat menghindar sehingga pisau itu tidak terlalu dalam menikam pinggangnya.

Jaxton menghela napas pelan. Ia tidak mungkin meninggalkan Audriana yang masih terisak untuk menyiksa dan menginterogasi si keparat yang hampir saja membuat wanita pujaannya terluka.

"Lakukanlah, Geo." Jaxton pun memberikan titah kepada ajudannya. "Periksa dan langsung saja kau interogasi dia. Lalu laporkan semua padaku," tutup Jaxton yang kemudian memeluk erat Audriana.

Geovan yang mengerti dengan gestur tubuh bosnya yang mengusirnya secara halus karena ingin berduaan dengan kekasihnya pun segera membungkukkan badannya memberi hormat, lalu segera berlalu dari situ.

Mr. Quinn telah memberinya permisif untuk menginterogasi, maka itulah yang akan ia lakukan.

***

BUUGH!!

"Aaargghh!!!"

Geovan kembali melayangkan tinjunya kepada lelaki yang sedang terikat di atas kursi hingga ia pun terjatuh bersama kursinya. Seorang pengawal dengan sigap mengangkat kursi itu dan mendudukkannya kembali di hadapan Geovan.

"Masih kurang? Atau kau mau bermain-main dulu?" Ucap Geovan sinis, seraya memberikan kode kepada salah satu pengawalnya. Tak berapa lama kemudian, pengawal itu memberikan sebuah kotak perkakas kepada Geovan.

"Eeny, meeny, miny, mo... " lelaki itu menunjuk bergantian pada alat-alat pertukangan yang ada di dalam kotak perkakas, seakan mencari sesuatu yang pas.

"Aah, ini cocok sekali, ujarnya dengan wajah yang berbinar-binar sambil mengacungkan sebuah martil.

"Bagian yang tumpul untuk menghancurkan tempurung lututmu, bagian yang melengkung untuk mencongkel kedua matamu. Bagaimana, sempurna bukan?" Tuturnya dengan seringai lebar.

"Tidaakkkk.... hentikaan!!" Jerit si pria yang sudah babak belur itu. "Baik, aku akan bicara!!" Teriaknya ketakutan.

Seakan tak mendengar perkataan lelaki itu, Geovan mengambil ancang-ancang untuk memukul lutut lelaki itu dengan mengarahkan martilnya, membuat si tersangka semakin genetaran.

"Hentikaaan!! Kubilang aku akan bicara, sialan!!"

Geovan mengangkat wajah dan menyunggingkan senyum miring. "Cepat bicaralah, kuberi kau waktu lima detik sebelum martil ini meluncur ke lututmu!"

DI ATAS RANJANG MR. CEO (21+) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang