37. Penculikan

466 18 0
                                    

Kalian pinter-pinter deh, jitu banget tebakannya!

***

"Baby! Ada apa?!"

Audriana masih menjerit-jerit histeris dengan mata yang masih tertutup ketika Jaxton merengkuh dan memeluknya erat.

"Baby, buka matamu. Itu cuma mimpi. Sshh... tenanglah."

Usapan lembut di punggung serta suara berat Jaxton itu ternyata mampu memberikan ketenangan kepada Audriana. Dengan napas yang masih memburu, gadis itu pun perlahan membuka kedua matanya.

"Ja-Jaxton??" Audriana menatap Jaxton dengan bibiirnya yang gemetar. Kedua tangannya terulur ke atas dan menangkup wajah lelaki itu. "Ka-kamu masih hidup? Jadi itu... itu... cuma mimpi buruk??"

Jaxton mengecup bibir pucat gemetar itu dengan sepenuh hati. "Aku akan selalu di sini bersamamu, Baby... apa pun yang membuatmu takut tadi itu hanya mimpi."

"Huuhuhuu.... aku bermimpi kamu meninggal! Kamu meninggal tertembak karena melindungiku... dan Bagas... Bagas menculikku!" Audriana menangis sejadi-jadinya di dalam dekapan Jaxton.

Tangis ketakutan yang bercampur dengan rasa lega karena semua hanya mimpi, meskipun rasanya begitu nyata.

"Jangan tinggalkan aku, Jaxton! Aku takuut... huuuhuuu.... hiks... "

"Tidak, Baby. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu," ucap Jaxton yang masih mengelus punggung kekasihnya sembari terus menghujani wajah cantik yang basah oleh air mata itu dengan kecupan-kecupan lembut.

Ketika akhirnya tersisa isakan kecil yang masih terdengar dari bibir ranum Audriana, Jaxton pun perlahan melepaskan pelukannya.

"Mau kuambilkan minum?" Tawar lelaki itu, yang mendapatkan jawaban berupa anggukan samar dari kekasihnya.

Jaxton langsung beranjak turun dari ranjang dan bergegas menghampiri dispenser yang berada di dekat sofa untui mengambil minum.

Audriana langsung menyesap air dari gelas yang disodorkan Jaxton dengan rakus sampai tandas tak bersisa. Gadis itu hanya menggeleng seraya berterima kasih, ketika Jaxton  kembali menawarkan apakah ia masih ingin minum lagi.

Saat Jaxton kembali ke atas ranjang, Audriana langsung memeluknya erat-erat seakan takut Jaxton akan menghilang.

Lelaki itu tersenyum kecil, merasa bahagia karena gadis yang ia puja ternyata begitu takut kehilangan dirinya.

"I love you, Audriana Camelia," bisik Jaxton lembut di telinga Audriana. "Tidurlah lagi, dan kali ini bermimpilah yang indah, Baby. Mari kita bertemu lagi di sana."

***

Pagi harinya, Audriana terbangun dengan kondisi mood yang buruk.

Entah kenapa mimpi semalam selalu terngiang di dalam benaknya, membuat Audriana melamun dan tidak fokus.

"Kamu kok belum berangkat kerja?" Audriana menatap bingung kepada Jaxton yang terlihat masih menghirup kopi paginya dengan pakaian santai.

"Aku remote kerjaan dari rumah," sahut Jaxton. "Kamu sudah selesai sarapan kan? Sini," Jaxton menepuk pahanya dua kali. "Aku butuh pencuci mulut."

Dengan patuh, Audriana pun berdiri dari kursinya dan duduk di pangkuan lelaki itu sambil mengalungkan tangannya di leher Jaxton. Tingkah Audriana yang penurut tak pelak menerbitkan senyum di bibir lelaki itu.

"Tumben tidak protes?" Ledeknya sambil mengecup pipi lembut kuning langsat Audriana. Kedua tangannya telah melingkar di pinggang ramping gadis itu.

Audriana hanya menggeleng dan menundukkan wajahnya. Namun tak berapa lama ia pun merebahkan kepalanya di bahu kanan Jaxton.

"Perasaanku tidak enak," jawab gadis itu sambil menghela napas berat. "Seperti firasat akan ada sesuatu yang buruk yang akan terjadi."

"Kamu cuma masih terbawa mimpi buruk tadi malam, Audriana."

"Entahlah... mungkin juga. Rasanya di sini berat sekali." Audriana menunjuk dadanya dengan lesu.

"Mau jalan-jalan? Aku bisa menemanimu shopping atau berwisata ke tempat yang kamu mau," tawar Jaxton sambil mengelus pipi Audriana.

Gadis itu mengangkat kepalanya dan menatap Jaxton lurus-lurus. "Kamu kan harus bekerja, Jaxton!"

"Sudah kubilang semua bisa ku-remote dari sini kan?" Sahutnya ringan sambil mengedikkan bahu. "Jadi gimana? Mau ke mal atau berwisata?"

Audriana menggelengkan kepalanya. "Tidak keduanya. Aku tidak mau membuatmu repot hanya karena mimpi buruk, Jaxton."

Kecupan lembut kembali bersarang di bibir Audriana. "Tapi aku suka sekali jika direpotkan olehmu," cetus Jaxton sambil terkekeh pelan.

"Huu... gombal."

Jaxton kembali terkekeh sebelum lagi-lagi memagut bibir gadis itu. Kali ini, ciumannya lebih lama dari sebelumnya dan lebih intens, yang juga disambut Audriana dengan tak kalah bergairahnya.

Suara dering ponsel membuat Audriana terkejut dan refleks melepaskan ciumannya, namun Jaxton yang merasa kehilangan kini malah memindahkan bibirnya untuk mengecup leher beraroma apel itu.

Audriana menoleh pada alat komunikasi milik Jaxton yang tergeletak di atas meja makan. "Geovan yang menelepon," tukasnya memberitahu Jaxton yang masih asik menyesap ceruk lembut lehernya.

"Hm." Jaxton hanya menyahut singkat seakan tak peduli.

"Angkat dulu, siapa tahu ada yang penting," sergah Audriana. Gadis itu meraih ponsel Jaxton di atas meja, lalu menyodorkan benda itu padanya.

"Ck. Dasar pengganggu," decaknya dalam gerutuan kesal sambil meraih ponselnya.

"Ada apa, Geovan?" sapa Jaxton malas setelah akhirnya ia mengangkat juga sambungan telepon itu.

Kening Jaxton yang tiba-berkerut dalam menimbulkan tanda tanya pada Audriana. Tak ada kata-kata yang keluar lagi dari mulut Jaxton, sehingga Audriana pun ikut terdiam sembari mengamati perubahan ekspresi Jaxton yang terlihat sedikit tegang.

"Baiklah, aku akan segera ke sana." Hanya sebaris kalimat itu yang keluar dari bibir Jaxton, sebelum akhirnya ia menutup telepon.

"Maaf, Baby. Ada masalah urgent di kantor. Apa kamu tidak keberatan jika kutinggal di rumah?"

Audriana mengangguk pelan dan tersenyum. "Pergilah. Aku akan menunggumu di sini."

Jaxton mengecup pipinya. "Terima kasih, Baby. Aku akan pulang secepatnya setelah urusan selesai."

***

Jaxton menatap datar pada sosok yang sedang terbaring tak sadarkan diri di atas brankar. Wanita itu mengalami kondisi fisik dan psikis yang cukup memprihatinkan akibat pemerkosaan, penganiayaan, dan dehidrasi serta shock berat.

Wanita itu, Khalissa Rininta.

Jaxton melihat ada kemiripan antara Khalissa dengan ibu biologisnya, Fiona. Rambut mereka sama-sama pirang, dengan mata coklat terang. Juga bentuk hidung serta rahang lonjong yang sama.

Geovan mendapatkan kabar kalau anak buahnya menemukan Khalissa di sebuah rumah kosong tak jauh dari kompleks tempat tinggal wanita itu dan suaminya.

Khalissa ditemukan dalam keadaan pingsan serta penuh luka, sedangkan suaminya yang bernama Henry telah tewas karena dicekik.

Apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah menurut info dari Bagas, adik tirinya ini justru ingin membuatnya celaka?? Lalu mengapa justru dia yang menjadi korban penganiayaan??

Geovan serta anak buahnya masih mencari keberadaan Wiryawan, sosok yang diduga menjadi eksekutor untuk membuat Jaxton celaka. Namun hingga detik ini lelaki itu masih tidak terendus jejaknya.

Suara pintu terbuka membuat tatapan Jaxton beralih ke sana. Tampak ajudannya, Geovan yang masuk ke dalam ruang rawat VVIP dengan tampilan gugup dan berantakan. Wajahnya pucat dengan keringat yang menetes membasahi kemeja putih di balik jas hitamnya. Ia melangkah tergesa ke hadapan Jaxton

"Mr. Quinn! Maafkan saya, tapi baru saja penjaga di rumah kediaman Anda memberi kabar kalau Nona Audriana telah menghilang!"

DI ATAS RANJANG MR. CEO (21+) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang