"Pramudya?!"
Geovan yang berdiri di depan Jaxton yang saat ini sedang duduk di kursi roda. Ajudan terpercaya Jaxton Quinn itu menganggukkan kepala.
"Benar. Pramudya Hasan. Dialah yang telah memerintahkan dua orang preman untuk mencelakai Nona Audriana. Satu orang bertugas untuk pengalihan, sedangkan satu lagi bagian eksekutornya," ungkap Geovan.
"Lalu siapa sebenarnya Pramudya Hasan? Dan kenapa dia ingin menyakiti Audriana?"
"Kami masih menggali informasi itu lebih dalam lagi, Mr. Quinn."
Jaxton menghembuskan napas keras, menyuarakan ketidakpuasannya akan jawaban ajudannya itu. "Tolong jangan membuatku kesal, Geo! Aku ingin Pramudya Hasan keparat itu segera ditemukan dan bawa dia hidup-hidup ke hadapanku!"
"Baik, Mr. Quinn ," sahut Geovan dengan sedikit membungkukkan badannya dengan gestur memberi hormat, sebelum akhirnya pergi dari hadapan Jaxton.
Langkah tegasnya menyusuri lorong rumah sakit, namun pikirannya melayang-layang entah kemana. "Pramudya Hasan, siapa kau sebenarnya?" Gumannya pelan seraya mengernyit sambil berpikir.
Geovan sudah menyelidiki asal usul Audriana, dan nama itu sama sekali tidak ada dalam silsilah hidupnya. Namun kenapa nama itu juga yang menginginkan kematian wanita itu?
Lelaki itu meraih ponselnya untuk mengecek posisi keberadaan para pengawal yang menjaga kamar rawat VVIP milik Mr. Quinn, serta GPS tracker yang terpasang pada kalung Nona Audriana dan cincin Mr. Jaxton Quinn.
Baiklah, sepertinya untuk saat ini semuanya aman.
Hari telah menjelang sore saat Geovan memutuskan untuk keluar dari rumah sakit menuju ke hotel. Ada satu orang lagi yang ingin ia berikan alat pelacak GPS, agar Geovan senantiasa dapat mengawasi keberadaannya.
Lelaki itu pun mempercepat langkahnya menuju parkiran mobil, tak sabar untuk segera berkendara kembali ke hotel.
***
Kania duduk di kursi cafe yang menghadap ke arah pantai dimana sunset yang indah sedang terpamoang di depannya. Semburat warna-warni cantik perpaduan merah, jingga, kuning dan ungu membias dengan penuh pesona di angkasa.
Namun sejuta keindahan itu tak mampu membuat pikiran Kania beralih dari apa yang telah terjadi tadi siang di taman hotel ini.
Aahh, dasar bodoh!!
Kania meringis setelah menoyor kepalanya sendiri. Ia sengaja menghukum dirinya yang terlalu terbawa perasaan hanya karena perkataan Pak Geovan.
"Jangan baperan, Kania! Dia kan cuma bilang 'khawatir' padamu!! Issh." Bibir tipis sewarna jingga itu pun sontak mencebik, sebelum menyesap minuman choco fiesta melalui sedotan.
Karena Geovan berulangkali mewanti-wanti dirinya untuk tidak keluar dari lingkup hotel, maka Kania pun memutuskan untuk menghabiskan waktunya di cafetaria hotel sendirian. Dengan terpaksa menolak ajakan tiga orang lelaki peserta rapat untuk jalan-jalan mengelilingi tempat pariwisata di Pulau Dewata ini.
Huh, Pak Geovan menyebalkan!! Seenaknya saja ia mengatur-ngatur agar dirinya tidak boleh keluar, sementara orangnya sendiri menghilang tanpa kabar!
Mati gaya deh, di hotel nggak bisa ngapa-ngapain!!
"Halo."
Kania hampir saja tersedak minumannya sendiri ketika sesosok wanita cantik berambut seleher menyapanya sembari tersenyum.
"Boleh aku duduk di sini?"
'Aduh, mantan Pak Geovan ini ngapain juga sih di sini? Ganggu aja, ish!' Gerutu Kania dalam hati.
Sontak Kania pun segera memasang senyum palsunya. "Silahkan Mbak, duduk saja. Bebas kok milih kursi yang mana saja," sahutnya terlihat santai di permukaan namun gregetan di dalam hati.
Kok bisa-bisanya ya, ada kebetulan seperti ini?? Kalau tahu begini, mendingan tadi dia mengurung diri saja seharian di dalam kamar!!
"Terima kasih," ucap si mantan tanpa melepas senyumnya. "Oh iya, kenalkan namaku Belinda. Kamu yang kemarin bersama Geo kan?"
"Hm. Nama saya Kania," sahut Kania singkat. Jujur saja ia sangat malas berbasa-basi dengan Belinda. Ah, dia harus mencari cara untuk melarikan diri dari situasi awkward ini.
"Jadi, kalian semacam rekan kerja atau bagaimana?" Tanya Belinda sambil menyesap coctail yang tadi ia bawa.
Nah kan. Gini deh, yang namanya mantan yang belum move on. Di balik gaya sok asik Belinda yang bertanya dengan nada casual itu, sesungguhnya tersimpan jiwa kekepoan yang sangat besar.
Kania menghela napas pelan. Ingin sekali ia menjawab bahwa ada 'sesuatu' di antara dirinya dan Pak Geovan, namun itu tidak mungkin.
Kania mengakui kalau ia memang menyukai wajah tampan dan tubuh atletis Pak Geovan yang sedap sekali dipandang mata, namun ia juga sadar diri kalau lelaki itu tidak memiliki sedikit pun ketertarikan padanya.
Lagipula, lihatlah! Selera Pak Geovan memang tinggi sekali. Wanita yang bernama Belinda ini lebih pantas menjadi seorang model, dengan wajah cantik eksotis dan tinggi tubuh semampainya. Dibandingkan Kania yang memiliki tubuh mungil dan pendek seperti anak-anak.
"Pak Geovan itu ajudan bos saya," sahut Kania pendek.
"Terus?"
Kania terkikik geli melihat jiwa kepo Belinda yang seperti meronta-ronta. "Ya, nggak ada terusnya. Gitu ajaa... " sahutnya santai. Ya, mau gimana lagi. Toh memang adanya begitu. Antara dirinya dan Pak Geovan memang hanya sebatas hubungan kerja. Ditambah lagi hubungan pembantu dan majikan, mengingat dirinya yang masih harus membayar hutang 1,3 milyar kepada lelaki itu yang entah kapan lunasnya.
"Jadi kalian bukan pacaran, ya?" Cetus Belinda puas.
Kania menatap Belinda lamat-lamat sambil menggeleng dan tersenyum kecil. "By the way, kok Mbak bisa putus sih sama Pak Geovan?" Kali ini Kania memutuskan untuk menjadi yang kepo. "Padahal kalian sih cocok ya, ganteng dan cantik."
Senyum di wajah Belinda pun seketika memudar. Gadis itu menunduk mengamati cocktailnya yang masih tersisa cukup banyak.
"Eh, sorry kalau pertanyaan saya menyinggung," tutur Kania cepat. Ia jadi tak enak melihat wajah Belinda yang berubah murung.
Belinda menggelengkan kepalanya. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini senyum getirlah yang menghiasi bibirnya. "Orang tuaku tidak menyetujui hubungan kami," jawabnya tiba-tiba. "Mereka berharap aku menikah dengan seorang CEO, bukan ajudan CEO."
Kania pun tercengang mendengarnya. Waduh, apa orang tua Belinda tidak tahu bahwa meskipun 'hanya' ajudan CEO, namun Pak Geovan tak kalah kalau soal tajir!
Buktinya dengan gampangnya ia mengeluarkan uang 300 juta hanya untuk membebaskan Kania dari rentenir yang ingin menjadikannya istri kelima, dan bisa-bisanya seorang ajudan memiliki vas bunga antik seharga satu milyar?? Apalagi kalau bukan tajir itu namanya??
"Tapi sejujurnya aku pun sebenarnya masih sangat mencintai Geo," cetus Belinda dengan kedua mata yang mulai berkaca-kaca meskipun senyum tipis tak luntur dari bibirnya. "Dan kurasa begitu juga halnya dengan Geo. Aku yakin kalau dia masih menyimpan perasaan untukku, Kania. Terbukti setelah setahun pertunangan kami kandas, Geo dan aku sama-sama belum menemukan pengganti."
'Ya belum tentu juga begitu, Marimar!!' Gerutu Kania dalam hati. Seenaknya saja si seseembak mantan ini menarik kesimpulan!
Tiba-tiba saja Belinda memegang kedua tangan Kania dan menatap gadis itu lekat-lekat, membuatnya jengah dan salah tingkah. 'Ih, si mbak mantan ini bukan mau nembak aku, kan?? Pake skinship segala lagi ish!'
"Kania... boleh nggak aku minta tolong sama kamu?" Pinta Belinda dengan masih menatap Kania tanpa lepas.
"Hah? Minta tolong apa ya?" Tanya Kania bingung. "Utang saya banyak loh, jadi kalau mau minjem duit kayaknya lewat dulu deh," sahutnya asal.
"Please bantu aku, Kania... supaya bisa kembali bersama Geo..."
KAMU SEDANG MEMBACA
DI ATAS RANJANG MR. CEO (21+)
RomanceAlih-alih mendapatkan pekerjaan sebagai sekretaris eksekutif CEO, gadis cantik berusia 24 tahun itu malah dijadikan sebagai sandera Jaxton Quinn, CEO Quinn Entertainment--sebuah perusahaan yang bergerak di bidang industri hiburan. Bagas yang merupak...