Tiga hari berlalu terasa begitu lama, seakan waktu bergerak dengan kecepatan yang menyiksa. Rumah ini kini terasa seperti rumah hantu, sunyi dan suram, kehilangan kehangatan yang dulu selalu ada. Setiap sudutnya terasa dingin dan tak bernyawa, menambah kesan kosong yang menyelimuti seluruh ruangan.
"Abang kangen," ucap sosok pria tampan yang duduk di depan jendela, memeluk bingkai foto yang ada ditangannya begitu erat, seakan mencoba mencari kehangatan dari kenangan yang terpampang di sana. Foto itu menampilkan seorang gadis dengan senyum cerah yang selalu bisa membuat hatinya tenang
Udara di dalam kamar terasa mencekik, berat dan menyakitkan. Kamar yang dulunya terasa hangat dan penuh cinta kini hanya sebatas ruangan mati yang dingin dan tak bersahabat. Setiap kali menarik napas seolah ada beban berat yang menghimpit dadanya, membuatnya sulit bernapas.
Hiks
isakan kecil akhirnya keluar dari mulutnya saat ia memilih untuk berbaring di atas kasur. Memeluk bantal putih itu erat, mencoba merasakan kedalaman hatinya dan meyakinkan dirinya bahwa gadis itu masih ada di sini, di sisinya.
"Abang capek, sayang...Bang Vandra di sini butuh kamu" lirihnya sembari mengelus bantal pelan. Matanya terasa berkabut, bayang-bayang Lana dengan senyum lebarnya terlihat jelas di matanya, seperti hantu yang terus menghantui pikirannya.
Ia tidak pernah meninggalkan kamar ini sedetik pun sejak hari itu, setiap hari yang ia lalui di kamar ini terasa seperti penyiksaan. Tidur di sini, menangis, dan merindukan adiknya menjadi rutinitas yang tak bisa ia hindari. Rasa rindu yang tak terbendung merasuki setiap sudut hatinya, membuatnya merasa sepi dan putus asa.
Bantal yang ia peluk erat kini basah oleh air matanya, mencerminkan penderitaan yang tak terucapkan. Menghabiskan seluruh waktunya di kamar ini, dikelilingi oleh kenangan Lana yang dulu membuatnya bahagia. Namun kini, kenangan itu menjadi duri yang menusuk, mengingatkan betapa ia merindukan adiknya yang tercinta. Ia berharap, entah bagaimana, Lana bisa kembali dan mengisi kekosongan yang menghantui dirinya setiap detik ini.
...
Devan berjalan menuruni tangga dengan wajah yang begitu sendu dan lesu. Saat langkahnya sejenak terhenti kala melihat sosok suadara dan Ayahnya duduk di ruang tengah tanpa berniat memecah keheningan
Kemudian langkahnya membawa ia duduk disebelah Vandra yang terlihat begitu kosong. Tatapannya kemudian beralih pada sang Ayah yang tersenyum kecil menatapnya
"Ayah ngumpulin Kita semua disini untuk suatu alasan...kita tepati janji kita untuk ngerayain ultah Lana sama sama ya" ucap Ayah mencoba tegar dengan senyuman palsu itu
Devan diam saat melihat ayahnya yang menghela nafas pelan dengan bibir gemetar saat tangannya terulur membuka kota kue diatas meja. Matanya terpaku pada kue tersebut, terlihat begitu indah dengan warna biru gelap
"Lana suka navy" mereka sontak menoleh kearah Vandra saat melihat pria itu menatap kosong kearah kue didepannya
Devan kemudian mendongak, menatap sekeliling ruangan dengan pandangan sendu. Kenangan akan saat-saat mereka semua bekerja keras untuk mempersiapkan pesta ulang tahun gadis kecil mereka yang ke-19 masih begitu melekat di otaknya. Banner dan balon yang berwarna-warni telah tertempel rapi di dinding, menciptakan suasana yang lucu dan menggemaskan, sangat cocok dengan kepribadian Lana. Tema pesta itu dirancang khusus untuk membuat Lana tersenyum, namun kini semua persiapan itu terasa begitu sia-sia.
Devan mengusap air mata yang mulai menetes dari matanya, ia tahu bahwa ia tak boleh larut dalam kesedihan seperti ini. Mereka harus mencoba memberikan sedikit cahaya di tengah kegelapan yang menyelimuti rumah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
enolA
Teen FictionMenjadi anak bungsu tidaklah serta merta menjadi anak yang paling disayang, anak yang paling dimanja dan anak yang paling dijaga Terkadang ada suatu hal yang mengharuskan semua orang membenci keberadaan diri kita sendiri. Teman, kerabat, orang orang...