02

15.4K 1K 6
                                    

Selama enam bulan belakangan ini sejak Gika memutuskan untuk resign dari kantor lamanya karena menolak di mutasi, ini adalah kegagalan kesekian dalam usahanya melamar pekerjaan lain.

Ia tidak mengerti kenapa, apakah perusahaan tempatnya bekerja mem-blacklist dirinya dari semua kantor di Indonesia raya ini? Tapi tidak mungkin mengingat bahwa ia keluar secara baik-baik dan tidak menimbulkan masalah apapun bahkan menemukan pengganti sebelum dirinya benar-benar keluar.

Lalu apa masalahnya?

Dia punya gelar yang tidak main-main walaupun tidak se-hebat orang lain juga.

Dia punya pengalaman kerja walaupun cuma satu setengah tahun. Dari sejak semester akhir kuliah hingga lulus. Gika tidak mengerti kenapa tiba-tiba ia ingin di mutasi. Ia menolak karena kota yang di pilih terlalu jauh. Dia tidak punya siapa-siapa dan tidak tau apa-apa tentang Kalimantan. Gadis itu mengerti bahwa ia bisa belajar, dia bisa beradaptasi, tapi inti masalahnya adalah, Gauri-ibunya-, tidak memberinya izin untuk bekerja sejauh itu.

Ia menatap nanar pada CV dan surat lamaran kerjanya yang lagi-lagi di tolak. Tidak akan ada yang memarahinya, Gauri juga bukan tipe ibu yang menuntut anaknya harus sukses punya apartment punya mobil punya tabungan sudah haji dan memiliki rumah tingkat sepuluh di usia muda. Tapi tetap saja, umurnya sudah dua puluh lima tahun, dan ia belum bekerja.

Uang yang dipakai Gauri untuk membiayai kuliahnya terasa sia-sia.

Ah..ia ingin menangis rasanya.

"Kenapa kok ngelamun, pamali ngelamun sore-sore" teguran itu turut menarik Gika untuk kembali ke masa sekarang.

Ia menatap Mila yang meletakkan ice vanilla latte di depannya.

Mila adalah karyawan ibunya. Gauri punya kafe dengan menu hanya diisi berbagai macam olahan kopi. Baik minuman dan kue-kue yang dapat dilihat di etalase itu semuanya bercampur kopi. Gauri adalah penggemar berat kopi dan itu adalah minuman kesukaannya. Sama seperti Gika. Rasanya, sehari tanpa kopi dapat merusak seluruh harinya.

"Aku masih jadi pengangguran nih Mil" Mila yang usianya setahun diatas Gika itu kemudian mengambil duduk di depan anak bosnya. Gika.

"Iya, emang gak bisa langsung dapet. Yang penting kamu mau sabar dan lebih usaha lagi" jawab Mila terdengar sangat bijaksana.

"Tapi aku malu! Masa umur segini masih nganggur" Gika terdengar merengek, untungnya kafe tidak sedang ramai. Jadi Mila punya waktu untuk meladeninya.

"Tapi kamu juga harus tau, cari kerja kan gak semudah itu" jawaban Mila membuat Gika mengangguk setuju. Memang iya, apalagi di luar sana banyak yang lebih mumpuni dibandingkan dirinya. Persaingan dunia kerja itu memang gila-gilaan.

"Lagian kamu udah disuruh pegang kafe aja gak mau" iya, Gauri memang telah meminta Gika untuk mengurusi kafe ini saja sementara dia berfokus pada toko roti yang baru ia buka beberapa bulan yang lalu.

Gika sudah bilang iya, tapi dia juga sudah bilang kalau masih akan tetap mencari pekerjaan lain. Bukannya ia merasa kekurangan, Gauri selalu mampu memberikan yang terbaik untuknya. Tapi, jika hanya mengurusi kafe ini saja Gika tidak puas. Dia punya gelar dan pengalaman, kenapa tidak di gunakan? Dan untungnya, Gauri setuju dengan itu.

"Iya, selama belum dapet kerja dan aku belum nyerah buat nyari. Aku memang bakalan sibuk disini kok" jawab Gika yang diangguki oleh Mila, wajar jika Gauri meminta Gika untuk mengurusi kafe, karena selain Gika adalah anaknya, rata-rata menu di kafe ini adalah hasil karya Gika semua.

Tapi Gika akan terus berusaha, bekerja di sebuah perusahaan adalah impiannya. Dan walaupun mungkin dia tau tidak semenyenangkan bayangannya, tapi setidaknya Gika sudah pernah merasakan walau cuma satu setengah tahun.

________

Hari masih siang terik, matahari masih tinggi dan sangat panas ketika Bara menelponnya.

"Apa?"

Ucap Gika malas-malasan, ia sedang duduk di dapur kafe sendirian setelah melayani banyak pelanggan diluar. Gika bahkan sudah merasa kakinya pegal karena terlalu lama berdiri meracik kopi.

Gue kasih 200rb, tapi lo anterin laptop gue ke kantor, gimana?

Bara Alexander si pria nyebelin yang suka sekali menyuruh-nyuruh dan tidak kenal basa-basi.

"Gak mau, gue capek" mana cuma dua ratus ribu, di laci kasirnya dia boleh ambil satu juta loh kalau mau!

Yaudah 500rb, tapi ambilin laptopnya dulu yah dirumah. Udah gue bilangin ke mama kok

Kan, sifatnya dari dulu memang tidak pernah berubah. Masih suka semuanya dan merencanakan seenaknya.

"Gak mau, capek!" Panas-panas begini, ia harus naik ojek jauh ke kantor Bara berada? Tidak dulu terimakasih banyak.

Duit 500rb sama gue beliin steik deh pulang ngantor

"Ok deal!"

Gika beranjak dari duduknya sembari tertawa, bisa ia bayangkan bagaimana wajah kesal Bara sekarang. Kalau dia disini pasti mulutnya sudah berbusa karena mengatai Gika matre. Tapi terserah! Gika dan steik tidak bisa di pisahkan!

________

Bara adalah teman semasa kuliah Gika, bisa di bilang adalah yang paling dekat dan yang masih awet hingga kini. Pria seusianya itu bekerja di salah satu perusahaan arsitektur ternama yang lumayan mentereng di negeri ini.

Gika pernah iri, mereka berada di usia yang sama namun entah kenapa tidak dengan takdirnya. Bara, dia sudah punya apartment mewah yang ia tinggali sekarang, punya satu mobil yang walaupun masih cicil karena baru dua tahun kerja setidaknya itu adalah pencapaian. Sementara dirinya? Tinggal saja masih dengan orang tua.

"Bara!" Teriak kan nyaring dari Gika itu di sambut decakan agak kesal dari Bara. Pria dengan kemeja itu menjitak pelan dahi sahabatnya.

"Gila lo! Udah capek-capek ambil laptop terus kesini malah gue di aniaya!" Gika memasang eskpresi kesalnya yang tidak pernah membuat Bara takut.

"Udah buruan, gue mau ikut meeting" Gika menyerahkan laptop si baginda raja, mengulurkan tangannya dengan cengiran lebar.

"Nih" Bara memberikan lima ratus ribunya sebagai upah karena Gika mau berbaik hati datang jauh-jauh kesini demi laptopnya

"Steik jangan lupa" Bara mendengus, namun ia tetap mengangguk karena memang sudah berjanji.

Pandangan pria itu beralih ke belakang Gika, tatapannya berubah menjadi sorot sopan yang membuat Gika penasaran, ia ikut menoleh menemukan tiga pria berjas hitam nan mahal. Namun, yang mencolok diantara ketiganya adalah si pria yang berjalan di tengah dan sedikit lebih di depan. Tatapannya bertabrakan dengan iris milik Gika yang tertegun beberapa sekon.

Rasanya, Gika tidak ingin mempercayai apa yang ia lihat kini.

"Siang pak" sapaan dari Bara itu membuat Gika ikut tersadar, ia kembali membalikkan tubuhnya kearah Bara.

"Siang" yang Gika dapat dengar dari pria di belakangnya, terdengar datar dan mungkin tidak niat menjawab.

"Kalau gitu gue pamit ya bye!" Ucap Gika dalam satu tarikan nafas lalu bergegas pergi dari sana tanpa sempat Bara menanggapi pamitnya.

Ini sudah tujuh tahun, Gika yakin perasaan yang sudah lama ia kubur itu benar-benar sudah mati dan tak layak untuk di kenang.

BORN TO BE OVERLOVE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang