05

11.7K 873 14
                                    

"Lo dari tadi mati kah? Gue telpon dari pagi baru di respon sekarang?" Gika menguap, ini sudah pukul sebelas siang. Pengangguran seperti dirinya tentu itu adalah hal yang wajar. Bara menelponnya pagi-pagi buta, tapi maafkan Gika yang tidak ingin bangun sebentar pun. Kemarin malam ia pulang larut dari Kafe yang sedang sangat sibuk karena ada orang kaya yang menyewa satu kafe untuk anaknya yang berulang tahun ke tujuh belas.

Gika dan karyawan lain harus rela lembur dan pulang pegal-pegal sehabis bekerja rodi. Gika memilih tidak ke kafe hari ini karena terlalu nyenyak tidur.

Dan ada apa gerangan Bara Alexander mengomelinya?

"Emang ada apa sih?" Jawab Gika ogah-ogahan, ia menggaruk kepalanya yang di tumbuhi rambut yang pagi ini nampak seperti sarang burung karena tidak di sisir.

"Lo masih nganggur kan?" Gika sontak bangun dari posisinya yang masih berbaring.

"Enggak usah pura-pura gak tau deh lo! Mau ngeledek ya!" Ucap Gika ketus, mana mungkin Bara lupa. Bukankah dia sendiri yang katanya jengah mendengar Gika curhat soal kerjaan tiap mereka bertemu? Kok bisa-bisanya sekarang dia sok bertanya lo masih nganggur kan?

"Bukan. Kalo emang masih nganggur, di kantor temen gue ada lowongan" bagai menemukan undian bermiliar-miliar. Gika memekik kegirangan sampai Bara perlu membentaknya agar diam.

"Mau dong Bar, biarin deh gue masuk atas bantuan orang dalem" toh, Gika memang sudah putus asa.

"Ntar siang gue ke kafe"

"Ok!"

______

Gika kelewat semangat, ia sampai lebih dulu dari Bara yang bahkan mungkin masih di kantor karena belum jam istirahat kantor. Di tangannya sudah ada map berisi CV dan apapun yang di butuhkan untuk melamar pekerjaan

"Loh bukannya enggak dateng?" Mila menghampiri Gika yang langsung mengambil duduk di meja biasa. Senyumnya cerah mengalahkan sinar matahari di jam setengah dua belas siang.

"Aku janjian sama Bara" jawab Gika tidak lupa senyum tiga jarinya. Begitu bersemangat dan tidak sabar. Gika akan mengetuk kencang kepala Bara jika sampai pria itu hanya mempermainkannya.

Tapi feeling nya mengatakan tidak, Bara walaupun hobinya adalah menyuruh-nyuruh Gika dan belum move on dari mantan rasanya tidak sejahat itu.

"Yaudah, aku ke dalem" Gika hanya mengangguki pamitnya Mila. Sesaat setelah itu ponselnya yang ia letakkan diatas meja berdering

"Lo dimana?" Tanyanya pada Bara.  Melirik jam di pergelangan tangannya, ini sudah hampir jam satu, tapi Bara tidak sampai-sampai.

Sorry Gi, gue enggak bisa ketemu lo sekarang.

Gika sontak kecewa, bahunya menyusut pertanda lesu. Bara memang ahli dalam mematahkan semangat dan harapan orang lain.

"Kok lo jahat si Bar?" Balas Gika, sudah hampir menangis karena merasa di tipu, ia bahkan mengabaikan perutnya yang lapar dan bergegas kemari dan tidak ingin membuat Bara menunggu. Tapi pria itu sendiri yang malah membatalkan.

Kita bisa ketemu besok-besok. Lowongan kerja yang gue maksud gak bakal kemana-mana kok.

"Emang kenapa sih? Lo kenapa?"

Gue mau ikut anak-anak kantor buat jenguk pak Alaric

Gika sejenak terdiam, jujur saja ia kaget mendengarnya. Bukan kah bulan lalu mereka bertemu? Walaupun Gika pura-pura tidak kenal.

"Dia sakit?" Tentunya memang orang di rumah sakit karena sakit Gika, mana mungkin untuk piknik.

Pak Aric kecelakaan, dia nabrak. Sebenarnya udah semingguan lebih. Tapi kita baru boleh jenguk sekarang karena pak Aric juga sempat koma.

Gika merasa gemetar, ia mengepalkan tangannya menahan sesak di dada yang menimbulkan rasa tidak nyaman. Aric kecelakaan, dan sempat koma. Dua hal yang di sebutkan Bara barusan membuat Gika kepikiran. Hingga panggilan itu berakhir berjam-jam kemudian, rasa khawatir dan gelisah nya belum juga pergi.

Gika rasa, ia telah membenci laki-laki itu. Laki-laki yang menolaknya kejam karena menyukai sahabatnya sendiri. Lalu, ada apa dengan dirinya? Mengapa ia merasa risau mendengarnya kecelakaan, Gika bahkan tidak mampu memejamkan matanya untuk dapat tidur setelah aktivitas nya yang melelahkan seharian ini.

Gika jengah, ia menarik rambutnya karena kesal sendiri. Meraih ponsel diatas nakas dan mengirim pesan pada Bara.

Gimana keadaanya? Baik-baik aja kan?

Pesan itu harus menunggu sekitar satu jam lamanya, Gika rasanya tidak pernah setidak-sabar ini dalam menunggu sebuah balasan pesan. Terlebih pada Bara yang ia tau juga pasti sibuk. Namun, ada sesuatu yang mendesaknya, Gika tidak tenang. Dan jujur saja dia tidak mengerti dan tidak mampu menjelaskannya.

Kenapa ia repot-repot khawatir pada Aric yang jelas-jelas tidak menyukainya? Bahkan mungkin membencinya? Untuk apa rasa khawatir dan gelisah nya ini?

Pak Aric enggak mau ketemu siapa-siapa tadi. Dia nyuruh kita semua pergi.

Gika membaca deretan pesan itu dengan fokus dan teliti. Aric tidak ingin di jenguk? Tapi kenapa?

Balasan Bara agaknya membuat Gika kesal, itu tidak menjelaskan kondisi Aric. Tidak seperti apa yang ia harapkan. Tapi Gika bisa apa?

Dia memang pernah benci, pernah kesal dan marah, bahkan tidak ingin melihatnya terakhir kali. Oleh sebab itu ia merasa aneh dengan dirinya.

Memikirkan itu semua hanya membuatnya tambah lelah, Gika mematikan ponselnya lalu kembali berbaring. Meski pada akhirnya ia baru bisa terlelap di pukul satu pagi.

______

Atas bantuan Bara, Gika berhasil mendapatkan pekerjaan. Pekerjaan yang sebenarnya tidak ia dapatkan susah payah karena nama Bara Alexander membantunya. Perusahaan milik temannya itu menerima Gika menjadi salah satu staff disana.

Ini sudah beberapa hari sejak ia bekerja. Jam kerjanya dimulai dari jam tujuh pagi hingga jam lima sore. Gika puas dan sangat menerima jam kerjanya itu.

Hari ini, setelah beberapa hari akhirnya Gika dan Bara bertemu lagi. Bara baru pulang dari menyelesaikan pekerjaannya di luar kota. Dan seperti yang sudah-sudah, pria itu pasti selalu dan tidak pernah lupa untuk membawakan Gika oleh-oleh.

"Gimana? Capek enggak kerja kantoran?" Tanya Bara sembari Gika memasukkan semua oleh-olehnya ke dalam Tote bag. Mereka sedang di salah satu kafe yang tidak jauh dari tempat kerja Gika.

"Capek lah, kerjakan emang capek. Kalau mau enggak capek enggak usah kerja." Jawaban Gika membuat Bara mengangguk sambil tersenyum. Tidak salah dia merekomendasikan Gika disana, laporan yang ia dapat mengatakan Gika termasuk orang yang cepat belajar dan asik. Pekerjaannya di hari pertama bahkan dia kerjakan seorang diri.

"Ngomong-ngomong, gimana keadaan bos lo?" Bahkan setelah beberapa hari terlewat, Gika memang masih memikirkannya sesekali.

"Pak Aric udah enggak pernah ke kantor. Sekarang dia kontrol semua kerjaan dari rumah" jawab Bara. Gika beberapa menit terdiam.

"Emang parah?"

"Gue enggak tau, enggak ada yang tau. Pak Aric sama keluarganya enggak ada yang ngasih tau keadaannya" aneh. Bahkan ketika di jenguk pun kata Bara, mereka di suruh pulang.

Ada apa? Apa separah itu sampai tidak ingin bertemu siapapun?

BORN TO BE OVERLOVE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang