Dua hari ini, Gika menyadari Aric begitu mencari perhatian. Dia suka mengeluh Gika cerewet, tapi belakangan ini Gika diam dia malah heran dan terus bertanya ada apa. Hari-hari biasanya dia yang mengabaikan Gika, kini gantian Gika yang mengabaikan Aric. Pria itu selalu memanggilnya untuk hal-hal sepele. Seperti hari ini, Aric tiba-tiba minta di temani membaca buku di taman. Gika sudah bilang mau ke rumah mbak Alea bersama mama Salma. Tapi Aric sendiri yang menelpon mamanya dan mengatakan dia tidak mengijinkan Gika keluar rumah hari ini. Maka dengan malas karena Gika masih kesal, ia duduk di bangku taman Aric dengan ponsel di tangannya.
Jujur memang Gika masih kesal, pada kekuatan sang mantan yang tidak perlu melakukan apapun tapi mampu membuat Aric tertarik. Dia? Aric malah jengkel melihat usahanya.
"Ih, kok diambil?" Ucap Gika ketika Aric merampas ponselnya. Pria itu melihat layar ponsel Gika. Dia sedang membaca komik online yang nampaknya lebih menarik daripada mengajaknya mengobrol seperti biasa.
"Kalau ada masalah ngomong, jangan diam aja kayak orang bisu." Katanya, Aric sudah berusaha. Mendengar Gika yang mengatakan Shania hebat waktu itu semakin membuatnya merasa bersalah. Tapi dia tidak ada maksud apapun selain murni penasaran.
"Aku gak ada masalah, kamu yang kenapa? Bukan katanya aku cerewet? Kok aku diam kamu juga kesel, kalau gak suka aku bisa kelu__
"Kamu gak boleh kemana-mana, saya gak ijinin!" Dan Aric menyadari betapa berbelit-belit nya dia menjadi seorang pria. Kenapa mengungkapkan pada Gika bahwa dia tidak bermaksud apa-apa pada Shania rasanya begitu sulit?
Gika tidak menjawab, ia memandang ke depan dengan tangannya yang terlipat di dada.
"Saya enggak bermaksud apa-apa, saya juga enggak ada perasaan apapun dengan Shania lagi jauh sebelum ketemu kamu. Maaf kalau itu bikin kamu enggak nyaman" Gika masih diam, dan Aric sudah kehabisan kata.
Mau berapa kali dia bilang kalau dia sudah terbiasa dengan Gika? Meski malam-malam menjelang tidurnya, Aric masih berdoa semoga Gika tidak selamanya terjebak bersamanya. Doa yang nyatanya tidak ikhlas ia amin kan tapi juga tidak mau Gika menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk dia.
"Gika.." Aric memanggil lembut, dan entah kenapa Gika mau menangis mendengarnya.
"Aku kesel, kata mama Salma kamu enggak pernah keluar rumah sejak kamu kecelakaan" Gika menelan ludahnya ketika merasa tenggorakan nya mulai sakit menahan tangis.
"Kemarin mama nyuruh aku buat bujuk kamu ikut ke acara keluarga, karena mama mau kamu ngerti kalau bagaimana pun keadaan kamu, kamu tetap Aric yang sama." Aric terdiam, ia sudah bilang berapa kali kalau dia tidak suka melihat Gika menangis? Dia yang merasa sesak ketika Gika mulai meneteskan air mata, terlebih itu karenanya.
"Mama berharap banget aku bisa, dia juga sedih ternyata aku gagal tapi tetap senyum depan aku. Sementara kamu apa?" Gika menolehkan kepalanya pada Aric, itu juga membuat Aric dapat dengan jelas melihat wajah Gika yang sudah banjir air mata.
"Maksud aku.. kamu kalau mau ketemu Shania jangan depan aku kek, sembunyi-sembunyi kek biar aku gak sakit hati!" Agar Gika juga tidak perlu merasa kecewa. Memang sih, dia bukan apa-apa dan siapa-siapa di bandingkan Shania. Tapi kan dia juga punya hati.
"Tapi saya__
"Udah lah, mau dulu atau sekarang, aku tetap sama. Sama-sama di tolak sama kamu." Lalu Gika berdiri, memanggil pak Arman dengan teriakannya yang lumayan kencang.
"Pak titip mas Aric ya, aku__
"Saya gak ijinin kamu keluar saya bilang!" Aric terdengar membentak, Gika menoleh kembali padanya dengan tatapan kesal.
"Aku cuma mau masak! Kamu gak mau makan emang?" Gika membalas dengan nada nyolot.
"Gak usah kemana-mana" ucap Aric lagi, matanya beralih menatap Arman yang nampak bingung di tempatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BORN TO BE OVERLOVE
ChickLitI can smile because we're together, i can cry because it's you. So what can't i do? - smile flower