Tiga tahun kemudian.
Bara itu teman Gika sejak mereka sama-sama masih maba di kampus. Dia satu-satunya pria yang pertemanannya awet sampai sekarang. Gika tidak punya banyak teman pria, agaknya memang tidak ada selain Bara.
Namun, meski sudah berteman sangat lama. Bara terhitung baru dua kali curhat padanya. Di banding Gika yang bisa setiap hari dan berjam-jam menceritakan apapun padanya.
Pertama, ketika Bara cerita kalau ada seorang gadis dari fakultas kedokteran yang ia sukai, ia incar, dan akhirnya berpacaran.
Kedua, ketika mereka akhirnya putus dan Bara tidak menginginkan itu.
Selebihnya, Bara jarang berkeluh-kesah. Bahkan ibunya saja pernah khawatir karena setiap ada masalah Bara cenderung menyimpannya sendiri.
Makanya, Gika sempat kaget ketika Bara menelponnya dan meminta bertemu. Sekarang Bara di depannya, nampak seperti orang gila. Rambutnya acak-acakan, bajunya kusut, apalagi wajahnya lesu sekali.
Gika sudah disini, duduk setengah jam menghabiskan dua gelas minuman, memerhatikan Bara yang diam saja sesekali mengacak-acak rambutnya.
Berat sekali sepertinya beban dia.
"Ini ada apa sih?" Tapi Gika sudah tidak tahan, kenapa memanggilnya kemari kalau cuma untuk melihat Bara menghadapi stress?
"Lani mau nikah"
"Wow, selamat kalau gitu." Gika bungkam di tatap tajam oleh Bara. Dia salah? Memang dia harus bagaimana mendengar mantan terindah Bara mau menikah?
"Lo sebenarnya temen gue bukan sih?" Pria itu bertanya sebal, Gika tau sendiri bagaimana perjalanannya dalam meluluhkan kembali Lani. Namun memang ia tidak berhasil, karena perempuan yang kini bekerja di rumah sakit keluarganya itu akan menikah dengan dokter kenalan ayahnya.
"Tau dari mana emang? Dia ngasih lo undangan?" Bara mengangguk lesu. Kadang-kadang ia kesal juga pada dirinya sendiri, kenapa susah sekali dia untuk jatuh cinta ke orang yang baru? Bara bukan tidak pernah mencoba, ia beberapa mengajak perempuan berkencan, atau membiarkan perempuan lain mendekatinya, tapi semuanya menjadi percuma ketika hatinya hanya menginginkan satu orang. Bara tidak tega menerima cinta baru di saat hatinya saja masih mencintai yang lama.
"Kemarin enggak sengaja ketemu, kita ngobrol bentar. Dia bilang mau nikah" Bara bercerita sambil menunduk, tidak melihat ekspresi Gika yang turut prihatin.
"Yaudah, berarti lo juga harus move on. Lo pasti bisa kok" Gika menyemangati, dia jarang melihat Bara sedih. Lagi pula Bara ini, sedari kecil keinginannya selalu tercapai, selalu di turuti, tidak pernah susah, ini mungkin menjadi sebab ketika akhirnya dia menginginkan sesuatu tapi dia gagal mendapatkannya, dia berjuang, tapi tetap gagal. Lani sebenarnya beruntung di cintai Bara sampai selama ini. Tapi untuk Lani, dia juga punya hak menentukan pilihannya.
"Nanti kalau mau kesana gue temenin kok" ucap Gika, meskipun ia ragu Bara mau mendatangi pernikahan perempuan yang dia cintai sampai mati.
________
Gika sebenarnya sudah lelah. Sehabis pulang kantor tadi ia bertemu Bara dan menemaninya sampai Bara bosan dan ingin pulang. Lalu sekarang, kanjeng ratu alias mamanya-meminta Gika untuk menjemputnya di rumah temannya. Gika sudah menolak tentu saja. Tapi pada dasarnya memang, Gauri itu tipe ibu super tegas yang tidak segan-segan mengamuk jika Gika membantah.
Teman-teman sosialita ibunya mengadakan arisan tiap bulannya, Gika juga pernah kebagian repot karena ibunya mengadakan arisan dirumah. Kali ini arisannya tidak dirumah mereka, tapi Gika tetap saja repot.
Ia sudah sangat ingin mandi dan tidur, besok masih harus bangun pagi untuk bekerja, waktu istirahatnya terasa kian sedikit ketika pukul sepuluh malam ia masih duduk di mobilnya di halaman rumah orang, menanti Gauri yang entah kenapa lama sekali. Gika ingin marah, tapi lawannya Gauri. Mana mungkin dia menang.
KAMU SEDANG MEMBACA
BORN TO BE OVERLOVE
ChickLitI can smile because we're together, i can cry because it's you. So what can't i do? - smile flower