Ngomong-ngomong, Gika memang mengundang Bara waktu dia dan Aric menikah. Waktu itu juga Bara datang dan menyampaikan keprihatinannya sembari menyembunyikan rasa terkejutnya karena melihat Aric duduk di kursi roda.
Bara bilang, ia hampir pingsan waktu tiba-tiba saja Gika bilang ingin menikah, namun melihat Aric adalah suaminya dan lumpuh, Bara hampir saja serangan jantung.
"Di ijinin kan?" Tanya Bara yang diminta Gika untuk menjemputnya di rumah sang mertua.
"Iya, tenang." Yang penting Gika pergi dalam keadaan Aric tidak kekurangan apapun. Ia sudah memandikan pria itu, sudah membuatkan sarapan, urusan makan siang katanya Aric bisa sendiri. Gika juga lihat Aric dari tadi pagi belum bisa beranjak dari posisinya menatap layar laptopnya.
Dari sana Gika tau, Aric ternyata tetap bekerja dan memantau seluruhnya dari laptop dan tablet itu.
Gika dan Bara tiba di salah satu hotel ternama, ballroom hotel yang di hias begitu mewah bahkan bernuansa emas agak membuat Gika kaget.
"Dia nikah sama pangeran Dubai kah?" Karena dekorasi ini memang rata-rata berwarna emas, mewah dan sangat ramai.
"Diem lo" Gika tertawa mendengar jawaban Bara. Dia masihlah tidak terima mantan terindahnya menikah, tapi sok kuat datang kemari.
"Lo jangan aneh-aneh ya Bar" peringat Gika ketika Bara menatap pelaminan secara tajam, di depan sana diatas panggung yang megah, Lani dan suaminya-entah siapa namanya Gika tidak tau- sedang menyalimi satu persatu tamu undangan.
"Aneh-aneh gimana? Gue aneh?" Jawab Bara, matanya hanya tertuju pada Lani. Gika jadi kasihan, ia menepuk bahu Bara berniat menyalurkan simpati.
"Jangan sedih dan galau lagi ya, Lani udah bahagia. Lo juga harus cari kebahagiaan lo sendiri." Gika adalah saksi bagaimana Bara memang terus berjuang untuk Lani. Tapi ternyata memang takdir berkata lain. Tuhan maunya Lani sama orang lain, bukan Bara.
"Iya, gue lagi berusaha kok." Gika sedikit paham bagaimana rasanya menyukai seseorang yang ternyata malah suka ke yang lain. Tapi bedanya, Aric sudah jadi suaminya sekarang.
"Yaudah ayo salaman" Mereka berjalan menuju pelaminan, bertemu salah satu teman Bara dan mereka langsung berpelukan karena mengaku sudah lama tidak jumpa.
"Lo sendiri?" Tanya pria bernama Ardi itu, Bara yang memang tidak ingin ketahuan belum move on dari Lani tentu menjawab lain.
"Enggak, sama pacar gue kok." Gika yang tadinya sedang memandang sekeliling ruangan yang begitu indah nan mewah ini nyaris kehilangan keseimbangan ketika Bara menarik tangannya untuk di pegang.
Ardi mengernyit heran, menatap wajah Gika lamat-lamat hingga Gika kesal dan menatap sinis padanya.
"Lo serius?" Tanyanya, Gika agak tersinggung. Dia tidak layak kah jadi pasangan Bara? Meskipun cuma bohongan dan Bara akan ia pukul kepalanya nanti, kenapa pandangan dan responnya harus begitu.
"Iya, emang kenapa?" Bara agak menjawab nyolot, meski Gika sering nyusahin dan pamrih kalau di mintai tolong, begitu-begitu Bara juga tidak terima kalau ada yang merendahkan temannya itu. Gika itu cantik, kulitnya putih, rambutnya hitam legam tanpa perlu di blow di curly atau apapun sebutannya karena sudah ikal alami.
"Enggak, yaudah gue kesana dulu deh." Katanya, Ardi pergi dari sana dan Bara memilih menarik Gika untuk kembali melanjutkan langkahnya.
________
Gika tiba di rumah pukul empat sore, mereka memang tidak lama di acara Lani itu. Tentu karena Bara menolak, dimana bahkan Bara tidak membiarkan Gika makan disana, mereka malah makan di warung pinggir jalan. Tidak masalah sih, Gika biasa makan di pinggir jalan. Tapi maksud Gika, dia kan sudah berdandan paripurna begini, Gika agak kesal saja, paling tidak masuk kafe kek.
KAMU SEDANG MEMBACA
BORN TO BE OVERLOVE
ChickLitI can smile because we're together, i can cry because it's you. So what can't i do? - smile flower