Benar-benar semakin berani, Gika menatap lembar kertas di tangannya dengan penuh kesabaran dan menekan kuat-kuat emosinya.
Ia menatap datar Aric yang menatapnya dengan senyum. Pagi-pagi di pukul sembilan, Altezza Alaric datang menyambangi Elegiac dengan secarik kertas bertuliskan banyak pesanan kue dan kopi. Entah mau di kemanakan Gika tidak tau.
Sialnya lagi, dua orang karyawan nya bersamaan izin hari ini untuk alasan penting. Gika terpaksa menggantikan posisi kasir dan melayani orang-orang yang hendak memesan.
"Baik pak, mohon di tunggu." Gika berucap dan tersenyum formal.
Masalahnya, ini bukan sekali dua kali, ini sudah hari ke empat dimana Aric datang dan terus memesan dalam porsi banyak. Memang menguntungkan, tapi kenapa sih dia itu? Cari perhatian?
"Papa ulang tahun minggu depan" Aric menolak duduk, dia malah berdiri di depan Gika yang sedang pura-pura sibuk dengan komputer di depannya.
"Papa siapa?" Dan balasannya itu adalah spontanitas
"Papa saya" Gika tidak lagi menjawab. Sebenarnya informasi itu juga seharusnya tidak perlu di sampaikan padanya. Toh, dia sudah bukan bagian dari mereka.
"Dulu kamu cuma minum kopi susu" Gika mengangkat pandangannya, menatap Aric atas ucapannya barusan. Benar, Gika dulu tidak terlalu suka kopi. Kopi di beri banyak crimer dan susu masih bisa di terima, Gika menatap pada gelas Americano miliknya. Ia tidak tau kalau Aric memerhatikan kebiasaannya.
"Lantas?" Gika kembali menatap Aric, tatapan yang pelan-pelan turun ke lehernya. Dia memakai kalung bertali tipis. Dengan sebuah cincin. Gika tidak mau menebak, tapi pikirannya bilang dia mengenali cincin itu.
"Gak papa Gika, asal enggak terlalu banyak." Gika kembali menunduk, fokus pada layar komputernya.
"Saya ketemu pak Arman tadi, dia titip salam ke kamu." Astaga. Bagaimana kabar pria baik itu? Aric sudah bisa berjalan sekarang, dia masih di temani Arman kah?
"Dia..dia dimana sekarang?" Sialnya, Gika tertarik dengan ucapan Aric barusan.
"Beliau pulang ke kampung halamannya, membeli sawah dan perkebunan dan dia kelola sendiri." Gika mengangguk saja, dia tidak mungkin tetap pada Aric yang sekarang sudah bisa melakukan semuanya sendiri kan?
Pesanan Aric selesai, dua orang karyawan membantu Aric membawanya ke mobil pria itu. Aric masih di depan Gika, menatapnya dalam diam. Gika sampai risih, proses pembayaran sudah selesai dan apa lagi yang dia tunggu?
"Mama titip ini" Gika sudah hampir mengusirnya, namun tangan Aric mengulurkan sebuah paper bag kecil.
"Mama pernah janji ke.. mama kamu, kalau dia mau mendesain cincin dan kalung berlian itu untuk dia. Prosesnya lama, dan barangnya baru sampai beberapa waktu lalu." Gika belum menerima uluran itu, Aric sendiri yang meletakkannya diatas meja.
"Mama mau nganter sendiri, ketemu sama sahabatnya setelah sekian lama, tapi mama mengerti kalau kehadirannya akan gak di terima. Dan itu karena saya" Gika masih diam, dengan tangannya yang menggenggam pulpen erat-erat.
"Maaf Gika, selain menghancurkan hidup kamu. Saya juga memutuskan hubungan orang yang gak bersalah" tidak ada balasan dari Gika, hingga Aric pamit undur diri dari hadapannya. Selepas itulah baru Gika duduk, mengatur nafasnya yang seperti membuat dadanya sesak.
Gika tidak mau pura-pura tidak tau, nyatanya Gauri pernah ia lihat risau ketika temannya tanpa sengaja mengabarkan bahwa Salma sedang di rumah sakit. Hari itu, Gauri diajak untuk menjenguk bersama teman-teman yang lain. Tapi Gauri menolak. Tapi Gika tau di khawatir. Meski mungkin dia marah, hubungan persahabatan mereka memang erat terjalin jauh sebelum ia dan Aric saling mengenal.
KAMU SEDANG MEMBACA
BORN TO BE OVERLOVE
Chick-LitI can smile because we're together, i can cry because it's you. So what can't i do? - smile flower