Bara Alexander. Selain tunggal kaya raya, salah satu hobinya adalah berolahraga. Tentu saja, berteman dengan pria itu selama lebih dari lima tahun membuat Gika jadi ketularan. Awalnya, Bara konsisten memaksanya ikut hingga akhirnya Gika tertarik sendiri.
Hari ini adalah minggu, Bara menjemputnya pagi-pagi sekali untuk lari pagi. Gika sudah dengan nafasnya yang putus-putus memilih duduk di trotoar dan menunggu Bara yang masih berlari. Tenaganya belum habis, Gika sendiri sudah menyerah di putaran ke empat.
"Bubur ayam enak nih" ucap Gika pada dirinya sendiri, ia benar-benar mendatangi warung bubur ayam yang sedang ramai itu sendirian.
"Pak, satu porsi sama teh hangat satu ya" ucap Gika tidak lupa senyumnya yang lebar
"Siap neng, silahkan duduk dulu" ia mengangguk, duduk di salah satu meja yang menghadap keluar. Siapa tau ia bisa melihat keberadaan Bara yang entah lari kearah mana tadi.
"Gika? Lo Gika kan?" Gika mendongak, kedua matanya membulat menatap gadis yang baru saja menyebut namanya. Astaga, ini sudah tujuh tahun, Gika tentu saja kaget karena ternyata Agni masih mengenali wajahnya dengan baik. Bahkan Gika juga tidak membutuhkan waktu untuk menebak siapa wanita di depannya ini. Dia adalah Agni Aryana.
Teman-tidak. Mereka bukan teman sejak Agni sendiri yang mengakhirinya dengan mengejek Gika di kelas dan tidak mau bicara bahkan menatapnya di sisa-sisa masa sekolahnya hingga akhirnya mereka lulus.
"Gue boleh duduk disini?" Gika ingin bilang tidak, tapi ini tempat umum dan warung ini bukan miliknya. Maka, gadis itu hanya mengangguk pelan.
"Lo sendirian?" Agni paham bahwa Gika nampaknya tidak nyaman, namun ia tetap berusaha mengajaknya bicara.
"Sam-sama temen kok" ah sial! Kenapa malah jadi gugup sendiri?
Sejak kejadian Agni mengatainya 'tidak tau diri' waktu itu. Gika pernah memintanya untuk menjelaskan maksudnya. Ia juga merasa heran kenapa Agni berubah dalam waktu kurang dari satu hari, ia menatap Gika sinis tiap mereka tanpa sengaja bertemu, tidak mengajaknya bicara bahkan memilih pindah duduk dan meninggalkan Gika sendirian. Membuat orang-orang makin menjauhinya karena lebih memilih berada di pihak Agni. Agni yang cerdas cantik berprestasi adalah primadona sekolah yang banyak di incar murid laki-laki. Maka Gika patut heran dan bingung mengapa tiba-tiba saja dia muncul menyapanya dengan senyumannya seolah mereka masih menjadi teman akrab.
"Lo apa kabar? Enggak pernah keliatan pas reuni" iya, sekolahnya memang sudah beberapa kali mengadakan reuni. Namun Gika tidak pernah datang tentu saja. Menghabiskan waktu setahunnya saja ia susah payah sejak di tolak pria sombong itu, Gika tidak berani muncul lagi setelahnya.
"Baik" jawab Gika singkat, pesanannya datang dan Gika lebih memilih menikmati itu daripada meladeni Agni.
"Mas! Sini" Gika mendongak kembali mendengar teriakan Agni, tangannya terangkat tinggi dan tatapannya mengarah pada dua pria yang sama-sama berpakaian olahraga.
Astaga!
Gawat!
Ini sangat gawat!
Ada Altezza Alaric juga disana, pria itu mendekat dan nampak juga terkejut menatap Gika. Harusnya Gika tidak usah ikut kesini waktu Bara mengajaknya, sialan! Ia jadi malu berada diantara Agni dan Alaric. Alaric menolaknya karena menyukai Agni, dan Agni menolak alaric entahlah karena apa.
Astaga, situasi macam apa ini?!
Agni dan Alaric sudah menikah ya sekarang?
"Dia temen kamu sayang?" Namun, pria di samping Alaric tadi malah memanggil Agni sayang. Ini ada apa ya?
"Iya, ini temen SMA aku. Namanya Gangika" Gika tersenyum tipis, tidak mengulurkan tangan tidak mengeluarkan suara dan tidak mengalihkan sedikitpun pandangannya pada Alaric yang menatapnya sedari tadi.
"Kita boleh gabung?" Pria yang tadinya memanggil Agni sayang itu menunggu jawaban Gika.
"Silahkan" meski berat dan Gika tidak rela beranjak sebelum buburnya habis, dan meski hatinya ketar-ketir sendiri karena Alaric mengambil duduk di samping kirinya.
Gika baru akan menelpon Bara saat justru pria itu lebih dulu menelponnya. Gika menghela nafasnya lega. Setidaknya Bara bisa menemaninya menghabiskan waktu canggung ini bersama.
"Gue di warung bubur ayam" hanya itu, lalu Bara memutuskan panggilan setelah mengatakan akan menyusul.
"Gika, kenalin dia Juan. Suami gue" Gika tanpa sadar menatap Agni kaget hingga Agni sendiri tertawa.
"Waktu gue nikah, gue mau ngundang lo, tapi gue gak tau alamat dan gak bisa hubungin lo sejak lulus" iya, Gika memang pindah rumah beberapa bulan setelah lulus dan memang sengaja putus kontak dengan semua teman sma nya termasuk Agni.
Gika merasa hampir mati karena canggung ini membuatnya seperti kehilangan kemampuan bicara. Ia hanya mengangguk saja mendengar ucapan Agni barusan.
"Ini Altezza Alaric. Lo masih inget gak?" Ucapan Agni itu bernada biasa, ia bahkan masih menebar senyumnya pada Gika. Tapi Gika yang terlanjur kesal malah merasa Agni sengaja membuatnya mengingat itu.
Masih inget gak lo?
Seperti sinyal darinya yang memaksa Gika untuk mengingat kenangan buruk dan tindakan bodohnya di masa lalu, yang melibatkan si pria yang masih menatapnya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
"Masih" Gika menjawab cuek, kemudian memilih fokus pada bubur ayamnya, sampai Agni mulai merasa bahwa Gika memang tidak tertarik padanya yang berusaha mencairkan suasana.
Juan Agni dan Alaric sudah selesai memesan saat Bara datang, pria itu terkejut menemukan Gika tidak sendiri dan lebih terkejut lagi karena ada Alaric disana. Mereka berjabat tangan singkat.
"Bapak tinggal di daerah sini?" Gika sengaja menarik Bara untuk duduk di posisinya agar dia saja yang berdampingan dengan Alaric.
"Enggak usah terlalu formal, kita di luar kantor" itu adalah suara pertama dari Alaric. Dan Gika perlu meremas sendok di tangannya karena tiba-tiba saja jantungnya berdebar mendengarnya. Kenapa?
"Ya enggak enak kalo harus panggil nama" ucap Bara di selingi kekehan pelan.
"Enggak papa, kita semua kayaknya gak terlalu jauh perbedaan umurnya" juan ikut menimpali, dan Agni mengangguk membenarkan.
"Abis pak aric juga kalo ngomong pake 'saya' " ucap Bara terdengar mengadu pada Juan. Gika sendiri memilih diam, ia berusaha menghabiskan buburnya cepat meski makan buru-buru bukan kegemarannya.
"Iya, dari dulu emang gitu. Maklumin aja" Agni yang menjawab, Bara mengangguk lalu beralih menatap Gika yang cuek sekali hari ini.
"Mau nambah enggak?" Tanyanya melihat bubur di mangkok Gika sudah kosong. Gadis itu menggeleng, meminum tehnya sedikit dan mengelap bibirnya dengan tisu.
"Ayo pulang" ajaknya pada Bara, kalau saja tadi ia bawa mobil sendiri, biarlah Bara disini mengobrol sampai bosan dan ia akan pulang sendiri. Tapi sayang, tadi mereka kesini menggunakan mobil Bara.
Bara sebenarnya heran, raut wajah Gika datar dan memang terlihat tidak ingin menatap orang-orang kecuali Bara saja.
"Yaudah" Bara menurut, karena sepertinya Gika kali ini memang harus ia turuti. Mereka sudah lama berteman, wajar jika Bara menjadi peka dan tau kapan ketika Gika terlihat tidak nyaman dan suasana hatinya berubah buruk.
"Permisi semua, kami duluan" ucap Gika dengan senyum tipisnya untuk Agni yang melambaikan tangan padanya, tanpa sedikitpun menatap Alaric yang masih menatapnya atau menunggu mereka merespon, Gika lebih dulu melenggang pergi meninggalkan Bara yang berpamitan lebih sopan dari yang Gika lakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BORN TO BE OVERLOVE
ChickLitI can smile because we're together, i can cry because it's you. So what can't i do? - smile flower