Pada akhirnya, setelah melalui banyak pertimbangan dan di desak rasa tidak enak. Gika mengikuti kata Bara sekaligus mengikuti kata hatinya sendiri.
Bara benar, dia hanya ingin menjenguk. Tidak akan lebih.
"Ah elah! Kenapa deg-degan banget sih!" Di dalam mobilnya yang terparkir di halaman rumah tante Salma-Gika memukul stir mobilnya karena tidak mampu meredakan degup jantungnya yang menggila bahkan sejak semalam ketika ia mengiyakan permintaan tante Salma melalui pesan.
"Tenang Gika.. come on, tenang." Gika mengatur nafasnya pelan-pelan, mulai merasa dirinya berlebihan. Menjenguk Altezza Alaric terasa seperti ingin menghadapi kematian saja.
Terlalu lama membuang waktunya, Gika akhirnya turun dari mobilnya masih dalam keadaan gugup hingga rasanya ia kesal sendiri.
"Gika, makasih banyak." Salma datang bahkan sebelum Gika mengetuk pintunya. Wanita itu memeluk Gika erat sambil menahan haru.
"Sama--sama-sama tante" balas Gika super kaku. Padahal dia tidak melakukan apapun. Bahkan masuk saja belum, tapi apa-apaan sambutan tante Salma ini? Apa tidak berlebihan?
"Ayo masuk" Salma menarik pelan Gika hingga duduk di sofa ruang tengah rumahnya. Rumah ini luas, bahkan sangat luas. Tapi sepi sekali rasanya.
"Kalau jam segini tante cuma bareng ART, mereka di belakang semua." Salma yang melihat Gika memandang seisi rumah-menjelaskan tanpa minta.
"Oh, iya tante." Gika meringis. Dia menjadi khawatir tante Salma berfikir yang tidak-tidak mengenai dirinya yang minim bicara begini. Padahal kata Gauri dia ini cerewet. Kemana kecerewetan itu pergi saat-saat Gika butuh?
"Aric tinggal di rumah sebelah" rumah Salma memang sangat luas, seperti beberapa rumah yang di gabung jadi satu. Di sayap kanan adalah tempat yang sudah Aric patenkan. Disana ia tinggal hanya berdua saja dengan pak Arman- orang yang membantunya selama ini.
Aric hanya akan kerumah utama saat penting saja. Bahkan untuk sekedar makan pun sudah tidak pernah lagi dirumah utama karena Aric bahkan membuat dapurnya sendiri disana. Dan sekarang berakhir tidak pernah di gunakan.
Sebelum kecelakaan naas itu, rumah sebelah hanya berisi rumah kosong luas tanpa apapun. Namun Aric mengubahnya seperti apa yang dia inginkan. Dia membuat dapur, membuat dua ruangan sebagai kamarnya dan kamar Arman, taman kecil tempatnya berjemur jika ingin, ruangan paling luas dijadikan perpustakaan karena Aric sangat suka membaca. Buku-buku disana bahkan sampai berserakan di lantai karena lemarinya tidak muat.
Gika mendengar semua penjelasan tante Salma itu dengan seksama.
"Tante bersyukur dan sangat berterimakasih karena kamu mau jengukin Aric." Gika tersenyum tipis. Bukannya kata Agni, Aric memang menolak orang-orang yang datang?
"Mungkin, temen-temen Aric lagi pada sibuk tante." Gika tidak ada niat membela, ucapannya barusan hanya karena dia tidak tau mau merespon apa.
"Iya, mungkin." Meski ada beberapa yang memang kentara sekali tidak peduli. Tapi tidak apa, Salma tidak mau memikirkan itu. Lagi pula Aric juga tidak butuh mereka semua.
"Ayo, tante antar ketemu Aric." Gika berdiri mengikuti langkah Salma dalam keadaan jantungnya yang makin tidak terkendali.
Sebenarnya Gika sudah menyiapkan hati dan mentalnya kalau semisal Aric mengusirnya.
Salma membuka pintu kaca yang dijadikan pembatas antara tempat tinggalnya dan tempat tinggal Aric. Gika dapat melihat nuansa putih dan abu-abu dirumah ini, taman kecil yang tante Salma maksud tidak jauh dari pintu kaca tadi. Ada dua kursi panjang yang saling berhadapan dengan beberapa tanaman hias.
KAMU SEDANG MEMBACA
BORN TO BE OVERLOVE
Romanzi rosa / ChickLitI can smile because we're together, i can cry because it's you. So what can't i do? - smile flower