41

10K 920 15
                                    

Masih terlalu pagi, matahari saja belum benar bersinar ketika Aric memutuskan mandi mengguyur kepalanya dengan air dingin. Ia segera keluar dari apartment nya dan mendatangi alamat yang dulu di berikan salah satu orang suruhannya. Alamat yang pernah ia datangi namun rumah itu sudah kosong, kali ini Aric kembali dengan sebuah harapan dan rasa bersalah.

Arman benar, Gika sangat dapat di percaya. Mamanya benar, ini adalah kesalahan fatal yang mungkin tidak bisa lagi ia perbaiki dan sangat sulit di tebus. Ayahnya benar, dia terlalu cepat mengambil keputusan dan hanya sepihak.

Semuanya benar, memang hanya dia yang salah juga terlalu bodoh.

Namun seperti sebelumnya, rumah itu kosong, kotor, berdebu dan tidak terurus. Aric menendang pintunya hingga hampir rusak.

"Bapak cari siapa?" Ia berbalik, pria tua dengan kaos dan sarung yang tinggal di depan rumah Aksara sudah memerhatikan Aric dari jendela rumahnya.

"Saya cari Aksara Lingga, anda kenal?" Pria itu mengangguk, melihat dengan jelas adanya emosi yang terpancar di kedua mata pria asing ini.

"Aksara udah hampir setahun gak tinggal disini, sejak mamanya meninggal dia juga pindah." Aric tambah kesal mendengarnya, pantas saja tidak ia temukan.

Bukan, tapi memang dia juga kurang berusaha.

Bukan sebenarnya hanya karena rasa marahnya pada Gika yang membuatnya mengusir perempuan itu, tapi juga dirinya yang tidak berdaya dan selalu merasa tidak pantas. Mendengar rekaman pendek dan telah dimanipulasi itu semakin membuatnya merasa bahwa ia tidak layak untuk Gika dan perempuan itu juga hanya kasihan. Sangat gegabah, juga sangat amat bodoh.

"Pindah kemana? Anda tau?" Pria itu menggeleng dan Aric rasanya makin emosi. Tidak boleh lebur dan tinggal rencana keinginannya untuk menghajar Aksara sampai ia puas.

_____

Aric pergi dari sana dengan tangan kosong, ia memilih mendatangi restoran Gika. Seharusnya sudah buka karena jam sudah menunjuk pukul sepuluh pagi. Namun sayangnya, tidak ada Gika. Karyawannya mengatakan Gika kemarin pamit ingin ke Singapura untuk beberapa hari kedepan. Aric bertanya alasannya, namun pria yang merupakan manager restoran itu tidak memberitahunya dengan dalih privasi.

Ia merasa perutnya sakit karena tidak diisi sejak semalam, sekarang sudah nyaris siang dan Aric hanya duduk di mobilnya dengan penuh keputusasaan. Ia kembali mendial nomor Bara, terhubung. Tapi diabaikan.

Satu-satunya cara untuk membuktikan kebenaran paling benar dari rekaman itu adalah Gika, atau keluarganya. Dimana Aric yakin datang kesana sama dengan menyerahkan nyawa. Namun apa lagi yang bisa ia jadikan pilihan? Tidak ada, keluarganya tidak tau. Aric yakin itu.

Dengan debar jantung yang sebenarnya nyaris tidak terkendali, Aric melajukan pelan mobilnya mendatangi kediaman orang tua Gika. Orang tua yang dulu menyayanginya tanpa kurang meski ia sendiri kekurangan.

Dalam banyak hal, termasuk fisik dan rasa percayanya pada Gika.

Aric turun dari mobilnya setelah sepuluh menit mengumpulkan keberanian. Ia mengetuk pintu coklat itu dengan pelan dua kali.

Pintu di buka oleh Gauri, senyum ramahnya hilang sepersekian detik. Tatapannya tajam menghunus seperti hendak menembus punggungnya.

"Ada hal penting apa? Seingat saya segala urusan perceraian sudah tuntas" Gauri berucap lugas tajam dan cepat. Enggan berlama-lama bertatap muka dengan orang yang telah dengan tega membuat putrinya tidak percaya pada dirinya sendiri dan siapapun.

"Saya..ada beberapa hal yang mau saya tanyakan, tante." Aric membalas sesopan mungkin, juga sedikit terbata-bata karena perlu memilih kata yang tepat agar Gauri tidak semakin marah.

BORN TO BE OVERLOVE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang