Gika tidak mau pura-pura tidak tau, nyatanya ia menyadari. Bahwa pria bernama Deka yang merupakan karyawan showroom depan itu agaknya terlalu mencari perhatian.
Gika menyesal telah membagi nomornya pada Carla, karena dua hari berselang, nomor asing yang rupanya milik Deka mengiriminya pesan dengan dalih ingin memesan makanan di restoran. Jujur saja Gika merasa risih. Maka dia memberikan nomor telpon Fadil dan memintanya untuk menghubungi dia saja. Lagi pula untuk apa di sediakan nomor pesan online kalau masih harus dia sebagai pemilik yang turun tangan?
"Halah.. modus itu" Gika membenarkan ucapan Bara. Deka tidak hanya sekedar memesan makanan, tapi juga menanyakan hal-hal yang sebenarnya tidak penting bagi Gika.
"Kamu sendiri udah makan?"
Atau
"Kamu tinggal di daerah mana Gika?"
Dan Gika juga tidak ingat kapan tepatnya Deka mengubah panggilannya menjadi aku-kamu.
"Emang lo ada keinginan buat nikah lagi sekarang? Atau pacaran dulu mungkin?" Bara mampir ke restoran untuk makan siang. Tadinya ingin dengan sang gebetan, tapi batal karena si perempuan berhalangan hadir.
"Enggak" Gika mungkin tidak trauma, tapi keinginan untuk mengulang menjalin hubungan baru belum terlintas di kepalanya. Gika juga tidak mau mengulang perpisahan lain. Dan sudah dia bilang, rasa percayanya terhadap lawan jenis sudah terkikis.
"Emang yang mana sih orangnya, kesini gak dia hari ini?" Bara memutar kursinya, bersandar melipat tangannya di dada sembari menatap kearah pintu masuk.
"Gede juga tuh showroom" Gika belum bilang dan sepertinya tidak akan bilang, jika showroom yang baru saja ia bicarakan itu adalah milik seseorang yang sepertinya sudah tidak Bara sukai bahkan ketika Gika hanya menyebut namanya.
"Kayaknya udah gak, kata Fadil dia udah order tadi siang. Masa order lagi" ucap Gika, agar Bara juga tidak perlu menunggu.
"Ganteng gak?" Gika dengan cepat menjawab tidak, membuat Bara tertawa keras. Bukan tidak sebenarnya, tapi Gika memang tidak ingin menilai. Tidak ada lagi pria baik di hidupnya selain Bara dan ayahnya.
Pulangnya Bara tidak membuat Gika ikut beranjak, restoran sudah tutup. Karyawannya sudah beres-beres bersiap pulang. Tapi Gika masih betah duduk berdiam diri menatap jalan raya. Jalan raya yang menjadi pembatas antara showroom mobil dan restorannya.
Gika tidak mau tau, tapi dia tidak buta. Ia melihat kedatangan Aric bersama seorang wanita pukul sebelas siang tadi. Gika menyayangkan dirinya yang juga sempat-sempatnya bertanya pada pikirannya sendiri. Siapa kira-kira perempuan itu?
Akan mudah baginya, karena sekarang dia sudah tidak lagi duduk di kursi roda. Dia punya karir cemerlang dan pastinya tidak akan lagi berkoar-koar soal bahagia atau tidaknya pernikahan mereka.
"Mbak gak pulang?" Gika menoleh, menemukan Fadil sudah dengan tasnya bersiap pulang.
"Pulang, aku duluan deh." Mereka keluar bersamaan dengan Fadil pergi lebih dulu menggunakan motor besarnya.
Gika sudah duduk di dalam mobilnya, ia tanpa sengaja menatap pada layar spion mobilnya. Carla mendekat dengan berlari kencang kearahnya
"Mbak, mbak Gika!" Gika turunkan kaca mobilnya yang di ketuk-ketuk oleh Carla. Dia terlihat panik dengan jejak-jejak keringat di wajahnya.
"Ada apa__
"Mbak tolongin saya mbak! Mas Aric sesak nafas, dia juga muntah-muntah terus dari tadi." Gika terserang rasa bingung.
"Kenapa__
"Mbak saya gak punya mobil, adanya motor! Saya gak tau pake mobil mas Aric, kita harus ke rumah sakit mbak, bantuin saya mbak!" Carla berucap dengan nada panik dan sangat cepat. Seperti di kejar oleh sesuatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
BORN TO BE OVERLOVE
ChickLitI can smile because we're together, i can cry because it's you. So what can't i do? - smile flower