Baru hari pertama sejak statusnya berubah jadi seorang istri. Gika rasanya sudah jengkel. Begini katanya tidak akan cerai?
Gika baru saja bangun dari tidur singkatnya. Semalam dia tidur dan terbangun di jam dua pagi karena mendengar suara pintu terbuka, pak Arman lumayan lama di kamar Aric tengah malam waktu itu. Dan setelahnya Gika jadi tidak bisa tidur.
Pagi dia bangun, langsung membuka pintu kamar Aric pelan-pelan. Sangat pelan, pelan sekali. Karena ia takut menganggu tidur Aric. Mama Salma bilang, Aric akan ke taman dan meminum kopinya disana, tapi Gika tidak melihatnya keluar kamar sama sekali. Mungkin masih lelah, jadi tidak subuh kali ini.
Gika mengambil kopernya yang di letakkan mama Salma dalam lemari Aric. Mengambil baju, alat mandi, dan beberapa alat make up nya. Semua itu dia lakukan dengan gerakan super pelan dan berusaha tidak menimbulkan suara. Pakaian dan semua yang ia butuhkan sudah di tangannya, saat ternyata Aric sudah bangun dan duduk diatas kasurnya.
"Aku..pinjam kamar mandi ya. Aku mandi enggak lama kok" ucap Gika yang Aric tidak jawab. Jangankan di jawab, di lirik saja tidak.
Gika berhenti di samping tempat tidur, menatap Aric yang juga sedang menatap datar kearahnya.
"Apa liat-liat?" Tanya Aric pada Gika yang berdiri dengan setumpuk barang di tangannya.
"Kamu..mau aku bantuin mandi?" Gika memang belum siap, tapi menikah dengan Aric bukan hanya sekedar "menemaninya" sampai sembuh. Tidak sesederhana itu.
"Enggak, mandi terus keluar. Cepet" jawaban bernada perintah namun sarat akan ketegasan itulah yang membuat Gika melangkah pergi. Kalau Aric tidak mau, ya sudah. Gika mana mungkin memaksa.
Ia mandi dengan cepat, berpakaian dengan cepat, dan keluar dari kamar Aric secepatnya.
"Pak Arman, Aric kalau sarapan biasanya pake apa?" Gika menemukan pak Arman di dapur mini rumah Aric, sedang menyeduh kopinya sendiri.
"Gika, belajar panggil mas ya? Kan dia suami kamu." Tau-tau saja Salma masuk tanpa Gika sadari.
"I-ya ma" ponsel Arman berbunyi. Aric memberinya sebuah ponsel yang isinya hanya seputar kebutuhannya dan hanya nomor telpon Aric saja yang tersimpan. Maka, jika ponsel itu berbunyi, berarti sang tuan sedang butuh bantuan. Arman segera pamit pada ibu dan istri bosnya, segara masuk ke dalam kamar Aric.
"Aric dari kecil enggak suka sarapan yang berat-berat Gika, dia cuma sarapan kopi sama roti aja cukup." Gika mengangguk, berbanding terbalik dengannya. Gika bahkan bisa makan nasi padang untuk sarapan.
"Pelan-pelan ya Gika, maaf karena sikap Aric masih nyebelin. Kamu..masih mau kan nemenin Aric?" Salma nampak sedih, dan Gika tidak tega melihatnya.
"Aku enggak akan kemana-mana ma" ucap Gika dengan pasti, Salma mengambil tangannya untuk di genggam.
"Mama harus ke rumah sakit, Alea dari kemarin nyariin." Gika mengangguk lagi, ia menahan mama Salma yang hendak beranjak dari kursinya.
"Aku boleh keluar sebentar gak ma? Aku cuma mau ke kantor" Gika sudah cerita pada mama Salma kalau ia baru saja resign dari kantor, masih ada beberapa hal yang di perlu di urus. Jadi Gika harus kembali kesana.
"Boleh, tapi bilang juga ke Aric ya?" Gika mengangguk, membiarkan Salma pergi. Bilang ke Aric? Izin maksudnya? Memangnya dia peduli apa?
Tapi, kalau sudah mama Salma yang bilang Gika bisa apa? Maka Gika mengetuk pelan pintu kamar Aric sekali dan langsung membukanya.
Aric disana, sedang di bantu pak Arman duduk di kursi roda. Dia sepertinya baru selesai mandi karena rambutnya masih agak basah, bajunya juga sudah berganti. Ia menatap Gika yang menjadi kaku di tempat.
"Lain kali kalo saya belum suruh masuk, jangan masuk." Ucapnya, Gika kesal mendengarnya. Ingin rasanya ia mengetuk kepalanya pakai kotak tisu di samping nakas itu. Mama Salma bilang, kamar Aric sudah jadi kamarnya juga. Tapi lihat kelakuan manusia kanebo itu. Ia bahkan harus mengendap-endap kalau mau ke kamar mandi. Baru satu hari, tapi Gika sudah banyak keluhan.
"Kenapa emang? Kalau pun kamu lagi telanjang kan enggak masalah." Ucapan frontal Gika membuat Aric sebenarnya terkejut. Pak Arman yang masih disana menahan tawanya, yang segera ia hilangkan tawa itu karena tatapan tajam Aric padanya.
"Ini mbak" pak Arman menyerahkan sebuah benda pada Gika, yang langsung ia ambil dan amati lamat-lamat. Salep. Kenapa dia di kasih salep?
"Kenapa di kasi ke dia?" Itu Aric, yang nada kesalnya jelas sekali. Arman menatap pada Gika yang kebingungan.
"Itu salep mas Aric mbak, di olesi di kakinya mas Aric tiap pagi dan malam hari. Saya di suruh ibu untuk ngasih tugas itu ke mbak, saya cuma menjalankan perintah mbak." Jelas panjang pak Arman. Gika kembali menatap salep di tangannya dan beralih pada Aric beberapa saat.
"Enggak perlu, biar pak Arman aja" Aric akan mengerti, mungkin Gika tidak akan mau. Dan meski dia adalah istrinya, Aric tidak akan membuatnya wajib untuk di urus Gika.
"Aku aja, aku bisa kok." Gika harus bisa, dia memang sudah bertekad untuk belajar kan?
Pak Arman memilih keluar dari kamar, meninggalkan Gika dan Aric yang di selimuti keheningan, Gika sebenarnya gemetar. Ia takut sentuhannya justru menyakiti.
"Panggil pak Arman, kamu enggak bisa." Gika menatap Aric sejenak, tanpa kata berlutut di depan Aric. Ia menyentuh kaki kanannya dengan hati-hati dan meletakkan kaki Aric diatas pahanya.
Ia gulung celana hitamnya pelan-pelan. Kaki Aric bukan hanya tidak bisa berjalan. Banyak bekas luka yang tidak kecil di beberapa bagian, banyak bekas jahitan yang membuat Gika ingin menangis melihatnya. Gika menyentuh luka-luka dan bekas-bekas jahitan itu dengan jarinya, mendongak menatap Aric yang juga sedang memerhatikan setiap pergerakannya. Ia tidak bisa merasakan sentuhan Gika, tidak di kakinya, tapi sampai ke hatinya.
Namun, meski ia takjub juga terharu Gika berlutut di hadapannya mengoleskan hati-hati salep itu di setiap jengkal kakinya, Aric tidak boleh terlena. Tidak dan jangan sampai, karena itu justru hanya akan merugikan Gika.
Gika selesai mengolesi kedua kaki Aric, ia hendak berdiri namun oleng dan kembali terduduk. Terlalu lama berlutut membuat kakinya kesemutan.
"Maaf-maaf" ucap Gika segera memindahkan tangannya yang tidak sengaja mendarat di paha Aric
"Enggak sengaja, gitu aja marah." Ucap Gika lagi, karena Aric terus saja menatapnya.
"Kamu boleh keluar" Aric berucap pendek, kalau sudah Aric yang bicara, Gika merasa seperti di suruh.
"Aku mau ke kantor sebentar, ada urusan. Boleh?" Aric memundurkan kursi rodanya, memberi jarak karena terlalu dekat dengan posisi Gika
"Ya"
"Makan siang mau makan apa?" Aric tidak menjawab, ia mengambil tabletnya yang terletak diatas kasur yang tidak jauh dari jangkauannya.
"Yaudah, makan malam mau makan apa?" Kalau bukan karena tante Salma, mana mau Gika meladeni Aric yang menyebalkan ini.
"Mas Aric?" Aric memang di panggil mas dirumah ini, oleh para pelayan, oleh pak Arman, oleh para penjaga dirumah, bahkan beberapa temannya juga ada yang memanggilnya begitu. Tapi dari Gika, ia sampai berhenti dari kegiatannya mengotak-atik tablet di tangannya.
"Aku tau kamu enggak suka aku jadi istri kamu, aku juga tau kalau aku bukan orang yang kamu anggap pantas buat jadi pendamping kamu. Tapi mas Aric, kita bisa jadi temen kan?" Aric menatap Gika tepat pada kedua matanya yang memancarkan ketulusan. Mamanya benar, Gika memang adalah orang yang baik dan memang benar tulus. Seharusnya, perempuan itu marah padanya seperti waktu lalu karena apa yang ia lakukan di masa lalu, Gika harusnya sakit hati, tapi dia tidak.
"Kamu boleh pergi" tapi Aric tetap tidak akan goyah, meski dia adalah perempuan paling baik sedunia. Gika tidak boleh berada di sisinya.
Gika jadi kesal lagi, padahal Aric harusnya berterimakasih loh!
"Sama-sama mas Aric sayangku cintaku padamu, bye-bye muachhh!" Gika memberi ciuman jauh pada Aric yang berpura-pura tidak tertarik. Tapi Aric tau, Gika sedang menyindirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BORN TO BE OVERLOVE
Romanzi rosa / ChickLitI can smile because we're together, i can cry because it's you. So what can't i do? - smile flower