Gika tidak menyangka, ternyata tante Salma mendengar percakapannya dengan Aric tiga hari yang lalu. Malam ini, dan sebenarnya bukan hanya malam ini-, tante Salma mengiriminya pesan berisi permintaan untuk bertemu. Gika menerima pesan itu siang tadi tapi Gika tidak hiraukan karena begitu banyak pekerjaan. Dan sekarang, sudah pukul tujuh malam. Gika sudah duduk di mobilnya, masih di parkiran kantor menatap pesan tante Salma tanpa membukanya. Gika sebenarnya sudah merasa kurang ajar dan tidak sopan karena dengan sengaja mengabaikan pesan dan menolak bertemu dengan halus dan beralasan sedang sibuk bekerja. Kalau orang lain, mungkin sudah sebal karena tingkahnya.
Namun, Gika seharian ini memang sangat sibuk. Pekerjaannya menumpuk dan Gika jadi bad mood meladeni semua orang karena di marahi habis-habisan oleh bos nya.
Tapi ini sudah tiga hari, dan Gika sudah tidak sanggup untuk lebih kurang ajar lagi.
Maka ia balas pesan tante Salma yang memintanya bertemu dan Gika iyakan malam itu juga sekalian makan bersama. Tante Salma memilih restoran jepang sebagai lokasinya. Sebenarnya Gika bukan penggemar makanan jepang, kalau kesana pun paling banter cuma pesan ramen karena memang hanya itu yang dia suka, tapi mana mungkin Gika mengeluh?
Sampai disana, tante Salma ternyata sudah sampai lebih dulu. Gika makin tidak enak.
"Maaf ya tante, aku telat." Gika berujar tidak enak yang dibalas gelengan oleh tante Salma.
"Enggak telat, tante juga baru nyampe kok." Ia menuntun Gika untuk duduk berhadapan dengannya.
"Pesan dulu deh, kayaknya kamu baru pulang kerja ya?" Melihat penampilan Gika yang masih mengenakan blouse dan celana kain, tante Salma menyimpulkan begitu.
"Iya tante" Gika menjawab singkat kemudian memesan ramen dan dua gelas air putih.
Mereka hanya saling menanyakan kabar hingga pelayan meletakkan pesanan mereka diatas meja.
"Gika, tante minta maaf ya atas kelakuan Aric yang ngusir dan ninggalin kamu waktu itu" Salma memarahi Aric setelah kepulangan Gika waktu itu. Dulu, ketika ada beberapa dari ratusan temannya yang datang, Aric tidak sampai mengusir. Meski dia tidak mengobrol lama dan hanya bersuara ketika di tanya, setidaknya Aric pamit baik-baik. Tidak seperti kemarin. Memang tidak pernah mengobrol lama, tidak pernah memasang wajah ceria, tapi agaknya kemarin itu keterlaluan.
"Enggak papa kok tante, mungkin Aric juga lagi capek." Meskipun, setelah dari sana Gika benar-benar kepikiran. Ia tidak bisa tidak iba pada kondisinya.
"Kalau boleh tante jujur, kamu adalah satu-satunya orang yang enggak menunjukkan rasa kasihan di depan Aric" Gika jadi kehilangan selera makan mendengarnya. Maksudnya apa?
"Beberapa teman Aric yang datang, selalu nanya kenapa Aric bisa lumpuh. Bisa sembuh atau enggak, kenapa bisa kecelakaan, dan kalimat-kalimat kasihan juga simpati yang tante tau itu cuma pencitraan. Dan Aric juga mengerti itu, makanya dia enggak lagi mau di jenguk sama siapapun."
Mendengarnya Gika ingin mengaku, dia juga sempat ingin mempertanyakan banyak hal tapi dia tahan. Lagi pula bagaimana caranya bertanya kalau Aric saja enggan berlama-lama.
"Aku..turut prihatin tante" balas Gika dengan nadanya yang pelan. Jujur memang iya. Dia prihatin. Dulu, ia pernah beberapa kali melihat Aric bermain basket. Ia berlari dan melompat disana, dimana Gika bahkan tidak berani bertanya bagaimana perasaan Aric setelah kini ia tidak bisa lagi melakukan itu.
"Makasih" Salma menjadi sedih, ia menunduk menghapus air matanya yang memang selalu turun tiap membahas Aric dan kondisinya. Ia hanya sangat-sangat bersyukur karena meskipun tidak seperti dulu, setidaknya Aric masih bersamanya.
Gika menyingkirkan mangkuk ramen itu dari hadapannya, memegang tangan tante Salma diatas meja berniat menyalurkan simpati.
"Gika, tante boleh minta tolong satu hal lagi ke kamu? Tante janji ini yang terakhir. Dan tante akan berikan apapun ke kamu sebagai tanda terimakasih kalau kamu nolongin tante." Salma balas menggenggam tangan Gika, ia meremasnya pelan berharap Gika mengerti betapa ia memang sangat berharap dan nyaris putus asa.
"Kalau aku bisa bantu, pasti aku tolongin kok tante. Tante butuh apa?" Ucap Gika sungguh-sungguh. Harusnya memang begitu kan? Mana mungkin ia menolak kalau memang dia bisa. Kecuali tante Salma adalah orang yang tidak ia sukai mungkin akan lain cerita.
"Kamu..mau ya nikah sama Aric?" dan mendengar itu Gika ingin menarik kata-katanya barusan.
Menikah dengan Aric? Sudah gila apa tante Salma ini?
"Ma--maksudnya?" Gika merasa terkejut. Jantungnya betulan kaget mendengar ucapan tante Salma barusan, yang Gika yakin pasti itu tidak berasal dari Aric. Mana mungkin pria yang membencinya itu mau.
"Gika, umur kamu sudah cukup untuk menikah. Mama kamu juga beberapa kali cerita sama tante kalau sebenarnya dia udah pengen liat kamu nikah." What?! Gauri alias mamanya itu tidak pernah membahas soal itu di depannya.
Dan meksipun memang usianya sudah dikatakan cukup dan pas untuk menikah, Gika belum pernah berfikir sampai sana. Dan kalaupun memang harus, tentu bukan Aric orangnya karena itu sama saja cari mati.
"Tante__
"Gika, Aric memang enggak bisa jalan. Tapi bukan berarti semuanya cacat. Tante enggak masalah kalau kamu enggak mau mengurus Aric, ada banyak pelayan dan Aric juga punya pelayan khusus. Gika, tante cuma mau kamu jadi pendamping Aric, untuk seumur hidup." Karena Aric yang sekarang sangat membuatnya cemas, bukan hanya tidak ingin bergaul dan mengasingkan diri, Aric juga membuat Salma khawatir dengan tidak ingin menikah. Kecelakaan itu adalah salah satu sebabnya, dan Gika akan tau tapi tidak darinya.
Salma benar-benar tidak tau bagaimana agar Gika mengerti kekhawatiran dan kegelisahannya.
"Tante pasti lagi bercanda kan? Tapi maaf tante, ini enggak lucu." Gika tertawa canggung, meski ia merasa tante Salma makin mengeratkan genggamannya.
"Enggak Gika, tante juga udah bicarakan ini duluan dengan mama kamu. Dan dia tinggal nunggu jawaban kamu." Ya ampun, Gauri itu tipe ibu yang cerewet. Kemana perginya kecerewetan itu hingga hal ini tidak tersampaikan padanya?
Gika melepaskan genggaman tangan mereka pelan lalu mengusap wajahnya. Ini lebih mengejutkan dari bentakan bosnya siang tadi.
"Tante..Aric itu enggak suka aku. Dia kayaknya juga benci sama aku." Gika memilih jujur agar tante Salma tidak usah berharap dan sebaiknya tidak memaksa.
"Kata siapa? Kenapa Aric benci kamu?" Katanya sendiri. Sebenarnya itu adalah kesimpulannya sendiri mengingat waktu Aric menolaknya memang secara kasar, dan dari pertemuan kemarin pun Gika menyimpulkan kalau Aric masih tidak suka padanya dan sepertinya juga benci padanya.
Dulu, Aric bilang tidak mungkin tertarik padanya. Saat itu Gika menawarkan sebuah hubungan pacaran. Jadi, pacaran saja dia tidak sudi, mana mungkin Aric mau lebih dari itu.
"Gika, kamu enggak harus jawab sekarang. Tapi tante mohon sama kamu, pertimbangkan. Tante akan kasih apapun buat kamu asal kamu mau jadi teman seumur hidup buat Aric." Salma kembali menatap Gika dengan matanya yang nyaris meneteskan air mata.
Seumur hidup itu lama, bagaimana Gika akan menghabiskannya dengan orang yang tidak menyukainya dan sepertinya Gika juga begitu.
Benarkan? Tentu saja benar. Ia yakin itu.
"Tante..kenapa harus aku?" Aric, waktu sehat apa tidak punya pacar atau orang yang dekat dengannya?
"Karena tante tau yang tulus cuma kamu" Gika terdiam mendengar jawaban tante Salma yang keluar tidak sampai tiga detik itu.
"Aric dulu punya pacar, dia sempet jenguk Aric dirumah sakit bahkan jadi satu-satunya orang yang Aric terima. Tapi dia mutusin Aric bahkan sebelum dia keluar dari rumah sakit." Gika spontan mengumpati siapapun perempuan itu.
"Tante udah pernah ngelamar dia buat Aric, tapi dia dengan tegas menolak dan terang-terangan jujur kalau dia enggak bisa terima kondisi Aric yang sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
BORN TO BE OVERLOVE
ChickLitI can smile because we're together, i can cry because it's you. So what can't i do? - smile flower